TEMPO.CO, Jakarta - Adenor Leonardo Bacchi, yang akrab dipanggil Tite, mantan pelatih klub Cotinthians, harus menunggu gilirannya untuk menangani Tim Nasional (Timnas) Brasil setelah Carlos Dunga dan Luiz Felipe Scolari.
Tapi, Tite telah menunjukkan kepada tim berjuluk Selecao itu apa yang hilang sejak mereka mengalami kesengsaraan pada Piala Dunia empat tahun lalu di Brasil.
Pelatih berusia 56 tahun itu memulihkan kebanggaan negaranya dengan lolos secara meyakinkan ke putaran final Piala Dunia 2018 dari babak kualifikasi Zona Amerika Selatan.
Timnas Brasil menang delapan kali beruntun dalam babak kualifikasi dan menjadi tim pertama yang lolos ke Rusia 2018, selain tuan rumah.
“Tite adalah seorang pelatih hebat, salah satu yang terbak di dunia. Ia hanya tidak punya status seperti (Pep) Guardiola dan (Jose) Mourinho karena ia tidak berada di Eropa,” kata mantan pemain internasional Brasil, Neto, yang kini menjadi pengamat sepak bola.
Tite mengambil alih jabatan pelatih Brasil pada Juni 2016 setelah Brasil tersingkir dari Piala Amerika Selatan dan terpuruk di urutan keenam babak kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Amerika Selatan.
Tite membalikkan keadaan tim Selecao secara fantastis. Pasalnya, pada Maret 2017, mereka menjadi tim pertama yang lolos kualifikasi ke Rusia selain tuan rumah.
Tite membenahi kembali kekuatan tim Brasil setelah kalah telak 1-6 melawan Jerman pada babak semifinal Piala Dunia 2014 di bawah asuhan Dunga.
Tite suatu saat mengatakan, “Seorang pelatih harus tahu mesinnya. Berapa banyak yang bisa dibutuhkan dan cara kerjanya. Tahu bagian mana yang bisa anda pacu lebih keras.”
Dalam rentang waktu selama 18 bulan, Tite telah mengembalikan spirit yang kian lama menghilang di tim Brasil semasa ditangani Dunga.
Sekarang, Tite sedang berusaha membawa kembali sejumhlah daya magis tim nasional Brasil pada masa lalu. “
“Yang paling mempesona saya adalah Brasil tahun 1982. Mereka bermain hampir seperti tanpa berpikir lagi (semuanya mengalir),” kata Tite.
“Skuad saat itu begitu mengesankan. (Roberto) Falcao, Socrates, (Toninho) Cerezo, dan Zico. Saya melihat tim itu dan saya berpikir betapa indahnya bermain sepak bola,” Tite melanjutkan.
Tapi, Tite juga tahu bahwa tim Brasil yang dari sudut kualitas permainan, keterampilan individu, dan daya pikat yang begitu hebat pada Piala Dunia 1982 bisa tersingkir. Dunia seperti meratap ketika tim yang sangat artistik itu akhirnya dikalahkan Italia dengan pertahanan kuat dan serangan baliknya.
Hal itu juga yang membuat Tite sadar impiannya untuk membuat tim Brasil seperti era Zico dan kawan-kawan 1982 bukan cara terbaik dalam sepak bola modern sekarang. Harus ada keseimbangan antara menyerang dan bertahan serta kapan main cantik dan tampil efektif.
Tite sudah menunjukkan perbaikan penampilan Timnas Brasil, yang sudah identik dengan permainan menyerangnya, tanpa melupakan fokus kepada pertahanannya.
Di Rusia, Juni nanti, racikan Tite kepada Neymar dan kawan-kawan akan diuji lagi. Menurut Neto, Tite punya kelebihan sekaligus kelemahan, yaitu sangat mempercayai pemain pilihannya. Hal itu acapkali membuatnya bersikap kurang keras dalam melatih dan susah untuk mengganti pemain yang lagi menurun penampilannya.
GUARDIAN | SOCCERNET | HARI PRASETYO