TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang pertandingan Piala Dunia 2018, minuman beralkohol lebih sulit didapat di berbagai kota di Rusia. Tempo menyaksikan sendiri kondisi seperti itu di Yekaterinburg.
Pelayan perempuan di restoran Donna Olivia di kota penyelanggara Piala Dunia itu menggeleng cepat ketika seorang tamunya bertanya mengenai menu minuman anggur. Sambil tersenyum, dia menyebut restoran tidak menyediakan minuman beralkohol apa pun hari itu. “Kami tidak menjualnya kalau mendekati hari pertandingan sepak bola,” katanya, Sabtu lalu.
Seperti di Donna Olivia, minuman keras lazim terlihat berjejer di rak-rak toko kelontong, minimarket, kafe, dan restoran lainnya. Pada Sabtu itu atau sehari menjelang laga terakhir di Stadion Ekaterinburg Arena, Senegal melawan Jepang, bartender Donna Olivia menutup rapat lemari minuman kerasnya.
Minuman beralkohol secara legal diperjualbelikan di Rusia. Para konsumen bisa mendapatkannya selama si penjual meyakini mereka telah dewasa atau bisa membuktikan usianya sudah di atas 18 tahun. Namun, selama perhelatan Piala Dunia, kebebasan ini dikekang. Alkohol harus benar-benar nol.
Kirril Malyshkin, wakil kepala keamanan wilayah Moskow, mengatakan pemerintah telah menetapkan aturan keras mengenai minuman beralkohol selama perhelatan Piala Dunia. “Penjualan dan konsumsi dilarang sehari sebelum dan saat pertandingan,” katanya.
Rusia pernah menerapkan pembatasan ini dalam penyelenggaraan turnamen Piala Konfederasi di Sochi tahun lalu. Hanya, saat itu alkohol dilarang dalam radius 500 meter dari stadion atau tempat latihan para tim.
Aturan itu dikeluarkan demi menjaga kenyamanan para penggemar sepak bola menikmati Piala Dunia. Rusia tengah berusaha memperbaiki kualitas hidup penduduknya yang sebagian besar “terlalu akrab” dengan minuman keras.
Minuman keras menjadi masalah serius di Rusia. Berdasarkan laporan studi Organisasi Kesehatan Dunia pada 2014, pria di Rusia menenggak setidaknya 32 liter cairan setara dengan alkohol murni setiap tahun.
Konsumsi alkohol pun mencoreng sejarah sepak bola di negeri itu. Banyak suporter mabuk yang bikin onar. Salah satu catatan terburuknya adalah ketika para suporter Rusia dan Inggris, yang sebagian besar diduga mabuk, terlibat perkelahian berdarah di Marseille saat penyelenggaraan Euro 2016.
Pembatasan minuman keras ini lebih ketat daripada penggunaan zat yang tergolong narkotik dan obat atau bahan berbahaya. Para suporter membawa mariyuana, kokain, dan heroin ke stadion jika mereka bisa menunjukkan dokumen medis yang membuktikan bahwa bahan-bahan itu dipakai hanya untuk pengobatan.
Seluruh toko yang berada dalam radius 2 kilometer dari stadion atau stasiun kereta bawah tanah dilarang menjual minuman keras pada hari pertandingan. Di Moskow saja, peraturan ini mengikat nyaris seluruh toko di kota itu, mengingat rata-rata jarak antar-stasiun kurang dari 2 kilometer.
Setiap orang yang hendak masuk ke kawasan stadion atau Fan Fest—arena para suporter menonton siaran laga lewat layar lebar—pada hari pertandingan digeledah ketat. Selain memeriksa barang lewat mesin pemindai, petugas meminta para pengunjung membuka setiap botol yang berisi cairan dan mengujinya.
Sebenarnya ada bir Budweiser dan Klinkoye, merek minuman keras lokal, yang dijual oleh gerai resmi di dalam kawasan stadion dan Fan Fest. Namun minuman yang dibanderol 450 rubel atau sekitar Rp 100 ribu per kaleng berkapasitas 450 militer itu tak mengandung alkohol. Hanya, rasanya agak pahit seperti bir konvensional. Slogan yang berbunyi “Minumlah dengan cerdas agar bisa merayakan hari esok” pun dipasang di mana-mana.
Larangan mengkonsumsi alkohol itu berdampak positif. Para penonton bisa menyaksikan Piala Dunia, baik di stadion maupun di Fan Fest, dengan nyaman. Meski pertandingan kerap membuat tensi naik, mereka bisa pulang dengan akur.
MOSCOW NEWS DAILY | WHO | VEDOMOSTI | GABRIEL WAHYU TITIYOGA