TEMPO Interaktif, Jakarta - Pada Piala Dunia ke-10 ini tuan rumah kembali berjaya. Sayang kali ini suara sumbang juga tertuju pada Argentina, tuan rumah yang dianggap menjadi juara dengan cara tak fair.
Sorotan negatif sudah muncul sebelum turnamen empat tahuan ini digelar. Argentina saat itu berada di bawah rezim militer pimpinan Jorge Rafel Videla, yang dituduh melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia.
Sejumlah negara sempat mempertimbangkan untuk melakukan aksi boikot sebagai bentuk protes, terutama Belanda. Aksi boikot itu tak terjadi. Belanda tetap tampil, tapi tanpa diperkuat Johan Cruijff yang menolak tampil di Argentina.
Piala Dunia dunia ini diikuti oleh 16 peserta. Inggris tak tampil karena gagal lolos untuk kedua kalinya. Prancis yang sempat 12 tahun absen, tampil kembali. Tapi tim yang diperkuat Michel Platini itu gagal lolos ke babak kedua.
Argentina sejak awal turnamen sudah diwaspadai. Bukan karena keindahan permainnnya seperti saat ini, tapi karena reputasi buruknya. Tim ini dikenal kerap "menghalalkan segala cara". Para pemainnya sering bermain kasar, memancing kerusuhan, dan menteror wasit untuk meraih kemenangan.
Sejak babak pertama, tim tuan rumah itu terus jadi sorotan. Mereka memilih menjalani semua pertandingannya pada malam hari sehingga sudah tahu hasil pertandingan lainnya di grup sama. Di babak kedua --yang juga menggunakan sistem grup-- praktek tak fair itu tetap berlangsung. Bahkan dalam partai penentuan Grup B, dengan posisi tim itu memiliki nilai sama dengan Brasil (4), Brasil terpaksa main duluan.
Tim Samba bisa mengalahkan Polandia 3-1. Argentina, yang melawan Peru tiga jam kemudian, tahu mereka harus bisa mengalahkan peru paling tidak dengan empat gol. Dan akhirnya mereka menang 4-0 dan lolos ke final berkat selisih gol lebih baik dari Brasil.
Media Brasil mencium aroma busuk di sana. "Kalaupun Brasil menang 50-2, Argentina pasti unggul 52-0," demikian salah satu surat kabar menulis. Setelah kejadian serupa terulang lagi pada Piala Dunia 1982, FIFA kemudian menerapkan aturan bahwa dua pertandingan akhir babak grup harus dilakukan serentak.
Di babak final, Argentina bertemu Belanda. Meski tampil tanpa Cruyff, tim Oranje masih mampu menunjukkan strategi total footballnya yang solid dalam turnamen itu. Mereka lolos ke final dengan menggilas Austria 5-1, mengalahkan Italia 2-1, dan menahan imbang Jerman 2-2.
Tapi kedigjayaan Belanda, untuk kedua kalinya secara beruntun, kandas di partai pucak. Kali ini aktor penghancur tim itu adalah Mario Kempes. Pemain bernomor punggung 10 itu --yang dalam laga sebelumnya tampil biasa saja-- tampil menawan.
Pada final di Stadion River Plate, Buenos Aires, itu Kempes membuka gol pada menit ke-38 setelah tendangan kaki kirinya gagal dihalau kiper Belanda, Jan Jongbloed. Belanda bisa menyamakan kedudukan lewat Dick Naninnga delapan menit menjelang waktu normal habis.
Skor 1-1, pertandingan pun dilanjutkan lewat perpanjangan waktu. Saat itulah Kempes menunjukkan kepiawaiannya. Setelah melewati hadangan tiga pemain belakang Belanda, Kempes mencetak gol pada menit ke-105. Gol itu memastikan Kempes jadi top scorer dengan enam gol.
Kegembiraan pendukung tuan rumah semakin menjadi saat Daniel Bertoni memastikan skor jadi 3-1 untuk kemenangan Tim Tango 1 berkat golnya pada menit ke-116. Kapten Daniel Passarella mengangkat trofi yang pertama untuk Argentina.
FIFA | WIKIPEDIA | Nurdin Saleh
DATA
Pelaksanaan: 2-25 Juni 1978
Tuan Rumah: Argentina (Buenos Aires, Mar Del Plata, Rosario, Cordoba, Mendoza)
Peserta: 16
Juara: Argentina
Partai final:
Argentina 3 (Mario Kempes 38, 105, Daniel Bertoni 116)
Belanda 1 (Dick Ninninga 82)
Top scorer: Mario Kempes (Argentina), 6 gol
Pemain Terbaik: Mario Kempes (Argentina)