TEMPO Interaktif, Jakarta -PIALA Dunia ke-19 dimulai tadi malam. Belum terlambat menghafal lirik “Wavin’ Flag”, lagu resmi ciptaan K’naan, penyanyi Somalia-Kanada.
Ooooooh Wooooooh
Give me freedom, give me fire, give me reason, take me higher
See the champions, take the field now, you define us, make us feel proud
In the streets are, exaliftin , as we lose our inhabition,
Celebration its around us, every nation, all around us
Sebelum 30 hari menancap di depan televisi, tak ada salahnya sesekali menghangatkan badan dengan gerakan “Dansa Diski”, tari tradisional Afrika Selatan yang dimainkan siapa saja -- dari gembel sampai Nelson Mandela. Ya, dengar si kribo K’naan berteriak, ”Beri aku kebebasan, beri aku api semangat. Pesta di sekitar kita. Semua bangsa.”
Ini waktunya menonton sepakbola, bukan Ariel atau Luna Maya, apalagi Cut Tari. Mari tenggelam dalam pesta akbar bersama lebih 1 miliar penduduk bumi. Yang tak suka bola, maaf ya, silakan masuk gudang sebulan penuh -- jangan lupa pesan katering dulu agar tak jadi mumi. Atau berkemahlah sementara di pulau terpencil tanpa penduduk.
Afrika Selatan pantas mendapat kehormatan sebagai tuan rumah. Afrika sudah 130 tahun mengabdi pada sepakbola. Di negeri yang sering dikoyak politik perbedaan warna kulit (apartheid) itulah klub pertama Afrika lahir. Pietermaritzburg County berdiri di ujung 1879, hanya 19 tahun setelah dibentuk klub pertama Eropa, Lausanne Football di Swiss.
Afrika sudah berjasa besar menyumbang pemain kelas dunia. Dari 386 pemain top Afrika yang berlaga di Piala Afrika tahun lalu, hampir 55 persen meramaikan liga Eropa -- Mekkah-nya sepak bola dunia sekarang. Tak hanya cerita suka di sini, lebih banyak duka dan air mata. Ratusan anak muda Afrika setiap tahun terbang ke Eropa atau menyelundup masuk dengan kapal laut. Hanya beberapa gelintir yang diterima klub-klub Eropa. Padahal orang tua mereka di Afrika sudah menjual rumah, sapi, tanah, untuk mengejar harapan menjadi pemain dunia.
Yang gagal direkrut klub umumnya malu untuk pulang. Mimpi menjadi Essien, Drogba, Aphiah, tetap mereka pelihara. Remaja 14-17 tahun itu akhirnya memilih hidup menggelandang di daerah-daerah kumuh, seperti Clichy-sous-Bois di tepian Paris. Siang hari mereka menjual apa saja untuk menyambung hidup atau bermain di klub-klub amatir lokal. Malam hari mereka kucing-kucingan dengan polisi yang merazia paspor dan visa.
Afrika juga tak mendapat setetes pun hasil bakat alam anak negerinya yang tumbuh subur di Eropa. Begitu pemain diikat klub Eropa, jangan harap untuk membela klub lama atau bahkan negara asalnya, kecuali untuk ajang besar seperti Piala Afrika atau Piala Dunia. Bahkan rezeki transfer pun nyaris tak ada yang mengalir ke Afrika.
Sudah begitu, di bursa transfer pemain internasional, bukan pemain Afrika yang duduk di peringkat teratas. Lionel Messi masih yang nomor satu, diikuti Cristiano Ronaldo. Satu-satunya pemain Afrika di 10 besar penerima gaji terbesar adalah Samuel Eto’o dari Kamerun yang menerima Rp 176 miliar setahun.
Afrika Selatan seperti mendapat imbalan atas pengabdian panjangnya. Semua negara penyandang gelar juara dunia hadir bertanding: Uruguay, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Argentina, Brasil. FIFA menambah hadiah uang menjadi US$ 420 juta -- terbanyak sepanjang sejarah.
Afrika Selatan menginvestasikan US$ 1,2 miliar untuk piala dunia ini. Tapi itu sepadan dengan persatuan negeri yang mereka dapat: di tim nasional sekarang ada seorang kulit putih, Matthew Booth. Sepakbola mengikis perbedaan warna kulit.
Just like a wavin' flag
And then it goes back
Oooooooooooooh woooooooooohh hohoho
Toriq Hadad, wartawan Tempo