Di depan hotel tempat tinggal saya, sopir taksi memberi tawaran awal: 300 rand (Rp 300 ribu). Tawar-menawar, kami sepakat dengan 200 rand. Setelah itu, ternyata ia masih menyempatkan bertanya tentang lokasi alamat yang akan kami tuju kepada teman sopir lainnya.
Saat berangkat, ia tampak yakin. Tapi, setelah hampir 20 menit berjalan sambil mengobrol kesana-kemari, dia pun mulai meminjam peta saya. Saya pun langsung teringat pada kejadian pagi hari saat saya diantar taksi lain dan gagal mencari alamat di daerah Bosmont.
Untungnya kegagalan itu tak terulang. Lima menit setelah bertanya kedua kalinya di pom bensin berbeda, kami akhirnya menemukan alamat itu: sebuah bangunan tertutup pagar tinggi dengan peringatan tentang aliran listrik tegangan tinggi. Padahal itu jelas sebuah sekolah.
Saya yakin itu memang lokasinya karena sudah banyak wartawan membawa kamera di luar pagar. Juga tampak beberapa suporter memakai kaus Brasil.
Tapi latihan itu ternyata tertutup, yang tak bisa ditonton siapa pun. Jumpa pers juga tak jadi digelar di situ, tapi dipindah ke hotel tim Brasil di Randburg Golf Club. “Dari sini mungkin hanya sekitar 5-10 menit dengan mobil,” kata salah seorang wartawan Brasil yang kemudian segera asyik kembali dengan kameranya.
Sayangnya, taksi itu sudah pergi. Mencegat taksi di pinggir jalan hampir mustahil dilakukan di kota ini. Kita harus menelepon pengemudi agar datang menjemput kita. Masalahnya, pengemudi yang saya kenal berada jauh dari situ. Bila menelepon mereka, jelas butuh waktu lama dan mungkin saya tak akan kebagian konferensi pers itu. Angkutan umum lain: nihil.
Jalan kaki? “Bisa saja. Tapi anda setidaknya butuh waktu 30 menit,” kata seorang pengemudi sewaan entah wartawan mana. Waduh. Padahal latihan tim Brasil tampak sudah usai.
Saya pun dengan gundah menatap aksi puluhan suporter yang berlomba-lomba meneriakkan nama pemain yang dari kejauhan tampak sedang menuju ke bus. Nama Kaka, Robinho, dan pelatih Dunga paling keras diteriakkan mereka. Tapi orang yang dipanggil hanya tersenyum atau melambai lalu masuk ke bus.
Ketika bus rombongan Brasil sudah berlalu, saya kian merasa kecut. Mata saya segera dan dengan saksama meneliti mobil yang dipakai wartawan lain. Begitu ada yang hanya sendirian menyetir mobil, saya menebalkan muka meminta ikut menumpang. Ia, wartawan Reuters asal Brasil, untungnya tak keberatan. Lega deh.
Ternyata hotel tim Brasil jauh masuk ke sebuah perumahan dan berada di sebuah lapangan golf. Bila berjalan kaki, atau naik taksi dengan sopir itu, mungkin saya akan kesulitan menemukannya. Tapi wartawan yang saya tumpangi sudah hafal betul liku-liku jalannya, karena hotel itu adalah tempat mencari berita setiap hari.
Jumpa pers itu diminati banyak wartawan. Saya hitung tak kurang dari 100 orang hadir di sana. Tapi tak satu pun wajah asal Indonesia yang saya kenal.
Saya berharap Dunga atau Kaka yang akan hadir memberi keterangan. Ternyata yang datang Daniel Alves dan Elano.
Begitu keterangan pers berjalan, saya pun melongo. Bahasa Portugal jadi bahasa utama dalam acara itu. Bahkan pertanyaan dalam bahasa Inggris harus diterjemahkan dulu ke dalam bahasa itu agar dimengerti oleh sang pemain, yang kemudian menjawabnya--tentu saja--dengan bahasa Portugal. Sang penerjemah pun tak lantas menerjemahkan jawaban itu ke bahasa Inggris. Ia hanya membisikkan terjemahan itu ke telinga sang penanya.
Saya akhirnya memilih menempuh cara kurang ideal untuk bisa mengartikan keterangan kedua pemain itu, yakni dengan meminta sang penerjemah mengulang jawaban mereka ketika acara usai. Ternyata tak hanya saya, wartawan luar negeri yang tak paham bahasa Portugal melakukan hal yang sama. Jadilah kami mendapatkan pers konferensi kedua sambil berdesak-desakan dan diburu-buru waktu.
Usaha saya untuk berfoto bersama Alves dan Elano juga gagal. Petugas keamanan langsung membawa mereka lewat pintu khusus begitu acara usai.
Sungguh hari yang mengecewakan. Dan hal itu masih ditambah oleh kesulitan mendapatkan angkutan untuk keluar dari tempat tersebut. Saya harus menunggu 2 jam sebelum taksi yang dipesan datang.
Nurdin Saleh (Johannesburg)