Dan di Afrika Selatan, yang mayoritas (79 persen) penduduknya beragama Kristen, ia merasakan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinannya. Bahkan sebelum 1994, saat politik apartheid masih diterapkan. "Di sini bebas. Saya tak pernah merasakan pembatasan karena agama saya," katanya.
Mariam adalah salah satu dari sekitar 2 juta warga muslim (1,5 persen) yang ada di Afrika Selatan. Ia tinggal di Bosmont, daerah di Johannesburg yang menjadi salah satu pusat permukiman warga keturunan Melayu.
Di daerah itu Tempo juga sempat mengunjungi Masjid Bosmont. Begitu melewati Jalan Maraisburg, menara masjid yang cukup menjulang itu akan gampang ditemukan. Di area masjid yang didirikan pada 1966 itu juga ada sekolah: Bosmont Muslim School. Sekolah itu mendidik 360 murid dari TK hingga SMP.
Di masjid itu biasanya digelar salat Jumat. Tempat ini juga biasa dijadikan sebagai pusat Maulid--peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW--yang di komunitas itu selalu dirayakan secara istimewa dan berlangsung sehari penuh.
"Bila Maulid digelar, tak kurang dari 2.000 orang hadir di tempat ini," kata Ibrahim Salleh. Lelaki 63 tahun itu adalah kepala sekolah di sana dan tinggal hanya sepelemparan batu dari masjid itu.
Ibrahim juga memastikan, warga muslim di Afrika Selatan bisa dengan leluasa mengekspresikan diri. "Kami bebas. Hubungan dengan warga lain juga bagus. Tak pernah ada ketegangan," katanya.
Warga muslim di Afrika Selatan kebanyakan tinggal di Cape Town. Mereka umumnya masih mengelompokkan diri di suatu wilayah berdasarkan etnis asalnya, karena memang dipaksa demikian saat zaman apartheid dulu.
Di Bosmont, misalnya, kebanyakan warga muslim berasal dari keturunan etnis Melayu (Indonesia dan Malaysia). Pemeluk Islam keturunan India di Johannesburg antara lain mengelompok di daerah Fordsburg.
Masjid dan sekolah di Bosmont hanyalah satu dari fasilitas serupa yang terus bertumbuh di seantero Afrika. Saat ini di Negeri Pelangi itu ada sekitar 600 masjid--102 buah di antaranya di Johannesburg--dan 400 institusi pendidikan Islam.
Ibrahim mengaku optimistis soal perkembangan Islam ke depan. Sebab ia melihat warga muslim yang semula hanya menjadi pekerja kasar kini sudah banyak yang merambah profesi intelektual, seperti di dunia pendidikan dan finansial.
"Ini akan memberi pengaruh signifikan," kata pria yang mengaku sangat berhasrat pergi ke Indonesia itu. Dalam sejarah Afrika Selatan, beberapa jabatan menteri juga pernah dijabat orang Islam.
Tapi Ibrahim juga melihat ada tantangan besar yang menghadang. Setelah apartheid berakhir, muncul masalah bagi generasi muda. Kini mereka dengan leluasa menyerap nilai dari luar yang tak semuanya sejalan dengan nilai Islam. "Ini memberikan tantangan lebih besar bagi kami di dunia pendidikan, juga bagi komunitas secara umum," katanya.
Perkembangan Islam di Afrika Selatan tak lepas dari peran Syekh Yusuf, ulama kelahiran Makassar. "Syekh Yusuf adalah bapak Islam di Afrika Selatan," kata Ibrahim Salleh, Kepala Bosmont Muslim School.
Syekh yang memiliki nama lengkap Abidin Tadia Tjoessoep itu bukanlah penyebar Islam pertama di Afrika Selatan. Tapi di tangan pria kelahiran Makassar pada 1626 itu, Islam mampu berkembang dengan cepat, terutama di kalangan budak asal Indonesia dan Malaysia yang didatangkan Belanda ke negara ini.
Syekh Yusuf adalah salah satu tokoh pejuang Indonesia melawan penjajah Belanda. Atas jasanya, ia pun sudah dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia pada 1995.
Ulama keturunan bangsawan itu diasingkan Belanda ke Cape Town pada 1964. Di kota itu ia justru menjelma jadi penyebar agama Islam yang berpengaruh. Distrik pengasingannya kini bahkan dikenal dengan sebutan "Kampung Makassar".
Nelson Mandela, Bapak Bangsa Afrika Selatan, termasuk orang yang menaruh respek kepada tokoh ini. Ia menyebut Syekh Yusuf sebagai salah satu pemberi inspirasi dalam perjuangan melawan sistem apartheid di negerinya. Ia pun beberapa kali berziarah ke makam tokoh yang disucikan oleh warga muslim di Afrika Selatan itu.
Nurdin Saleh (Johannesburg)