Dari sekian tim yang berlaga di Afrika Selatan, selalu ada kelompok imigran yang menjadi penggemar, bahkan juga pesta untuk merayakannya. Tapi tidak demikian halnya dengan tim Korea Utara. Tim dari negara diktator ini tampaknya sepi pendukung. Alih-alih bertaruh atau meramu minuman khusus untuk menonton permainan tim mereka, penggemar bahkan tak melakukan sorak-sorai.
Padahal pertandingan tahun ini merupakan sejarah yang sangat penting. Sebab, inilah pertama kalinya, selama beberapa dekade, tim sepak bola negara komunis itu berhasil masuk kualifikasi Piala Dunia. Tapi sayang, sejarah ini nyatanya tak mampu membangkitkan gairah para pengungsi atau imigran Korea Utara untuk mendukung kesebelasan negara mereka. Bahkan ada imigran yang tak mengetahui kesebelasan negaranya ikut berlaga.
Henry Kim, pemilik Roma Wine dan Liquor serta pendiri kelompok advokasi pengungsi yang lahir di Korea Utara tapi pindah ke Selatan selama perang, mengaku tak tahu tentang pertandingan sepak bola. Saat diberi tahu, dia hanya mengatakan akan menonton di rumah bersama istrinya.
Ada beberapa alasan yang memang membuat pengungsi Korea Utara tak menunjukkan sikap fanatik atau demam bola seperti pengungsi asal negara lainnya. Selain karena jumlahnya yang sedikit, menurut Departemen Luar Negeri Amerika, jumlah pengungsi negara itu hanya 99 orang dan, sejak 1992, jumlahnya hanya 1.293 orang, juga lantaran faktor keamanan.
Pengungsi Korea Utara umumnya ogah berkumpul atau diketahui keberadaannya karena takut diciduk otoritas atau mata-mata Korea Utara. Selama ini pemerintah Korea Utara menganggap para pengungsi sebagai pengkhianat. Karena itu, keberadaan mereka akan dilacak hingga keluarganya yang ada di Korea Utara, yang dianggap sebagai pengatur pelarian tersebut. Tak mengherankan jika pengungsi Korea Utara, walaupun penggemar berat bola, enggan berkumpul, apalagi menggelar pesta untuk merayakan kesebelasan negaranya bertanding. Kondisi yang sama terjadi di luar New York.
Joseph, 18 tahun, pengungsi Korea Utara yang tinggal di Virginia, mengaku sebagai penggila bola. Namun dia hanya akan menyaksikan pertandingan di rumah keluarga angkatnya. Joseph, yang merahasiakan nama belakang dan lokasi keberadaannya, berhasil keluar dari Korea Utara setelah melintasi sungai yang beku di perbatasan Cina sendirian. Ayahnya mati kelaparan, saudara perempuannya lenyap di Cina, dan ibunya menelantarkannya.
NEW YORK TIMES | SUNARIAH