TEMPO Interaktif, Jakarta -Pertandingan Denmark melawan Belanda dalam penyisihan Grup E putaran final Piala Dunia 2010 di Stadion Soccer City, Johannesburg, Afrika Selatan, hari ini mengingatkan kepada mendiang Rinus Michels. Penemu taktik permainan total football yang legendaris itu mengalami masa terburuk dalam kariernya ketika membawa tim Oranye menghadapi tim Dinamit Denmark dalam putaran final Piala Eropa 1992 di Swedia.
Marinus Jacobus Hendricus Michels, itu nama lengkapnya. Sebuah taktik revolusioner yang tak pernah bisa dilakukan lagi sampai kini, termasuk oleh Belanda sendiri, setelah Mister Sphinx itu membawa Oranye mencapai puncak pada putaran final Piala Dunia 1974 di Jerman Barat. Pria asal Amsterdam yang jarang tersenyum itu berusia 64 tahun ketika kembali menangani Marco van Basten dan kawan-kawan dalam Euro 1992 di Swedia. Itu adalah untuk keempat kalinya ia menangani tim Oranye setelah 1974, 1984-1985, dan 1986-1988.
Dan, periode keempat itu menutup karier Michels sebagai arsitek tim Belanda dengan pedih. Setelah pergerakan pemain tanpa henti dan keterampilan semua pemain--kecuali kiper--yang bisa menjadi bek, gelandang, dan penyerang di Jerman Barat 1974, juga seusai membuat Van Basten melakukan tendangan salto yang indah di final Euro 1988, maka Gothenburg 22 Juni 1992 adalah panggung Mister Sphinx yang suram.
Delapan belas tahun lalu di salah satu kota di Swedia itu, Michels menyaksikan trio pahlawan Belanda di Jerman 1988, yaitu Van Basten, Frank Rijkaard, dan Ronald Koeman, tak bisa lagi membuat rekan-rekannya menampilkan sedikit saja sisa total football dengan baik. Mereka bak "ambyar" oleh ledakan permainan tim Dinamit Denmark.
Denmark sebenarnya tak lolos ke putaran final Euro 1992. Michael Laudrup, bintang Dinamit, sudah menyatakan pensiun dari tim nasional setelah tak puas dengan taktik pelatih Richard Muller Nielsen lantaran kalah di kualifikasi. Saudara kembar Michael, Brian Laudrup, dan kiper Peter Schmeichel sudah bersiap-siap menikmati liburan ketika mendadak mendapat telepon dari Nielsen bahwa mereka harus segera berangkat ke Swedia menggantikan Yugoslavia, yang kena skorsing internasional karena perang yang memecahkan negara itu.
Di sini kita bisa menyebut keadaan itu seperti tim cabutan yang dibikin mendadak mengikuti turnamen. Bedanya, mereka kumpulan pemain luar biasa, memiliki darah petarung di laut dari bangsa Viking, nenek moyang mereka. Mereka membuat dunia terpana dengan menghantam anak-anak Michels di semifinal lewat adu penalti dan menggulung Jerman di final.
Anak-anak Viking itu bermain tanpa beban, tapi spartan di lapangan untuk memaksa Basten, yang biasanya bermain anggun, kehilangan cita rasa seninya di lapangan. Penyerang tipikal khas Belanda yang langsing dan kaya teknik itu terlihat emosional dan tega menghantam kaki salah satu pemain lawan di semifinal. Belanda saat itu adalah Belanda yang kehilangan bentuknya yang khas. Pada beberapa periode, tim Oranye hanya menyuguhkan sepak bola fisik.
Gothenburg 1992 dengan aktor utamanya, Denmark, adalah pentas yang kemudian membuat Michels memutuskan mengakhiri karier yang fenomenal di tim Oranye, Ajax Amsterdam, Barcelona, dan memasuki "masa persiapan pensiun" di Bayer Leverkusen. Bapak ideologis dari Johan Cruyff, Rijkaard, dan Van Basten, yang menyusul menjadi pelatih tim Oranye, sempat jalan-jalan ke Jakarta memenuhi undangan PSSI sebelum wafat lima tahun lalu.
Sejarah memang bisa seperti sepenggal kenangan. Tapi di penggalan lain ia bukan cuma deretan fakta tercetak di kertas yang rapuh. Total football Belanda dan keliaran Denmark 1992 pasti membekas di hati Robin van Persie, Thomas Sorensen, dan kawan-kawan. Itu bisa seperti naluri yang purba, yang menyusup dalam aliran darah mereka di Soccer City hari ini.
Hari Prasetyo, wartawan Tempo