Menurut pelatih berusia 46 tahun itu, sejak 1989 sepakbola Brasil telah berubah menjadi tak terlalu artistik dan lebih bergaya Eropa. Dunga sendiri terlibat langsung dalam transisi itu.
“Di Brasil, orang-orang selalu berkata bahwa kami tak lagi memainkan sepakbola indah,” kata Dunga dalam jumpa pers jelang duel pertama Grup G lawan Korea Utara yang akan digelar di Ellis Park, Selasa (15/6).
“Tapi, ada satu poin yang ingin saya tunjukkan: Pada 1989, Brasil tak pernah meraih Copa America selama 30 atau 40 tahun dan gagal merebut Piala Dunia selama 20 tahun.
“Tapi, sejak tahun itu, kami telah memenangi Piala Dunia 1994, menjadi runner-up pada 1998, merebut Piala Dunia lagi pada 2002, Copa America pada 1989, plus empat lainnya (1997, 1999, 2004, 2007)…”
“Saya melihat tingkat kehadiran penonton pada pertandingan Brasil terus bertambah termasuk anak-anak muda di bawah usia 40.
“Setiap orang punya selera masing-masing dan itu berhak mengungkapkan bagaimana ia ingin timnya bermain. Saya sendiri suka kemenangan.
Sepakbola Brasil sempat dinilai mengalami krisis identitas sejak 1982 ketika mereka menjadi salah satu tim dengan permainan paling indah di Piala Dunia yang gagal menjadi juara.
Kegagaln serupa terjadi pada 1986 sehingga sepakbola Brasil yang dikenal dengan sebutan “jogo bonito” (Permainan Cantik) mulai dipertanyakan.
Brasil pun mengubah gaya mereka sepenuhnya pada Piala Dunia 1990 di mana menjadi salah satu pilar. Tapi, mereka dihentikan tuan rumah Italia di putaran kedua dan Dunga pun jadi kambing hitam atas kegagalan itu.
Dunga langsung bangkit dan menjadi kapten Brasil di Piala Dunia 1994 dan 1998 di mana mereka jad juara dan runner-up. Ia kemudian jadi pelatih seusai Piala Dunia 2006 dan langsung mempersembahkan Copa America 2007 dan Piala Konfederasi 2009.
Permainan Brasil memang tetap atraktif dalam beberapa Piala Dunia terakhir dibanding tim-tim lainnya. Tapi, mereka tak pernah mencapai level penampilan di Piala Dunia 1982 dari segi kualitas.