TEMPO Interaktif, Blunder adalah keniscayaan dalam sepak bola. Hampir semua pelatih besar mengalaminya. Blunder itu seperti garam dalam sayur. Tak ada sayur yang tak pakai garam. Begitu juga tak ada sepak bola tanpa blunder. Hanya, level blundernya berbeda-beda. Ada blunder kecil, ada pula blunder parah bin akut.
Pekan pertama Piala Dunia kali ini, kita sudah disuguhi blunder besar yang dilakukan Robert Green. Kiper tim nasional Inggris itu berniat menangkap bola yang ditendang keras oleh pemain Amerika Serikat, Clint Dempsey. Tapi bola yang deras meluncur itu terpental dari tangan kiper asal klub West Ham United tersebut lalu bergulir pelan masuk gawang.
Bukan cuma Green yang dihujat oleh koran seluruh Inggris. Pelatih Inggris, Fabio Capello, juga kecipratan makian. Pertanyaannya, mengapa Si Tangan Dingin Capello mempercayakan gawang Inggris dikawal oleh Green, yang masih "hijau" di pentas Piala Dunia? Mengapa bukan David James, yang lebih berpengalaman?
Tapi, sekali lagi, blunder bukan monopoli Green dan Fabio Capello. Pelatih Manchester United, Alex Ferguson, dan pelatih Barcelona, Pep Guardiola, juga pernah melakukannya.
Blunder terbesar yang dilakukan Guardiola adalah mendepak Samuel Eto'o ke Inter Milan. Dia menukarnya dengan penyerang Zlatan Ibrahimovic setahun lalu saat kompetisi Liga Champions belum dimulai.
Guardiola punya hitungan sederhana: penampilan Eto'o di Barcelona sudah menurun. Dulu dia memang hebat, pernah mengantar Barca menjadi juara La Liga dan Liga Champions. Tapi ia bukan lagi sedan Cadillac yang berkilau. Sebaliknya, penampilan Ibrahimovic justru menanjak seperti Porsche yang memukau. Guardiola terpikat.
Tapi dia salah. Justru Eto'o-lah yang menenggelamkan mimpi Guardiola meraih trofi Liga Champions. Eto'o bersama Inter Milan memukul klub Catalan itu di semifinal Liga Champions. Bahkan Eto'o mengantar Inter Milan menjadi juara Liga Champions.
Blunder serupa terjadi pada Real Madrid. Mereka salah menilai kemampuan Eto'o. Saat itu pemuda kampung asal Douala, Kamerun, tersebut baru masuk ke kamp Real Madrid untuk seleksi. Lelaki kurus dan tampak tak meyakinkan ini tak dilirik oleh para pemandu bakat Real Madrid.
Justru Eto'o ditampung oleh Barcelona. Selama lima musim di klub Catalan itu, Eto'o mempersembahkan banyak gelar. Pada musim pertamanya, Barca menjadi juara La Liga. Musim-musim berikutnya, Barca menjadi juara La Liga dan Liga Champions. Eto'o bahkan menjadi pencetak gol terbanyak di La Liga.
"Sepak bola itu seperti kehidupan di dunia nyata," kata Eto'o. "Di dunia nyata, sayangnya, hal-hal idiot itu juga terjadi."
Keidiotan atau blunder serupa dilakukan oleh pelatih Italia, Cesare Maldini, pada Piala Dunia 1998. Saat itu Italia awalnya tampil menyerang dengan bola-bola imajinatif. Lawannya, Kamerun, dibuat tak berkutik. Pasukan biru ini dengan mudah menjebol benteng Kamerun 3-0. Roberto Baggio dan Alessandro Del Piero adalah menjadi bintang yang siap melumat siapa saja.
Namun, saat melawan Prancis, Maldini mengubah strategi. Dia kembali ke rumus lama Italia: catenaccio atau bermain dengan pola bertahan seperti gerendel. Hasilnya, Italia tak bisa menjebol gawang Prancis, bahkan kalah dalam adu penalti.
Sebenarnya bukan penalti yang mengalahkan Squadra Azzura itu. Italia kalah karena kemuraman sistem permainannya. Mereka kehilangan kegembiraan bermain. Catenaccio telah memborgol diri mereka sendiri. Del Piero atau Roberto Baggio lenyap. Padahal, dalam partai-partai sebelumnya, Del Piero dan Baggio bak seniman zaman Barok. Mereka superkreatif. Dari kaki-kaki mereka, lahirlah bola fantastis dan mengejutkan. Maldini telah terjebak oleh pilihannya. Blunder.
Ya, blunder, siapa pun bisa melakukannya. Dan blunder itulah yang membuat laga seperti Piala Dunia menjadi menarik. Tanpa blunder, sepak bola akan hambar. Semua pertandingan akan berjalan lurus seperti angka-angka statistik. Semua seperti yang diramalkan, tak ada lagi kejutan. Penonton pun dengan mudah memprediksi hasilnya. Kalau sudah begitu, apa menariknya sepak bola? Sepak bola butuh blunder agar tetap memikat.
Burhan Solihin