TEMPO Interaktif, Johannesburg - Ada sekitar 28 wartawan peliput Piala Dunia dari Indonesia, hanya 10 yang mendapat akreditasi FIFA. Tempo, yang kebetulan mendapat akreditasi, merasakan betapa terbatasnya kesempatan bergerak dan mendapatkan berita bagus di turnamen empat tahunan ini. Tak semua permohonan untuk meliput pertandingan disetujui FIFA. Yang disetujui pun tak serta-merta dijamin mendapatkan akses ke acara jumpa pers dan masuk area Mixed Zone untuk mencegat pemain.
Jadi, seperti apa kesulitan wartawan tanpa akreditasi? Senin lalu, saya merasakannya. Saya bergabung dengan dua wartawan Indonesia tanpa akreditasi untuk mendatangi pertandingan Belanda dan Denmark di Soccer City.
Ternyata benar-benar perjuangan berat bagi mereka. Wartawan tanpa akreditasi tak bisa ikut di bus panitia yang mengangkut suporter karena tak ada tiket. Padahal area stadion sudah disterilkan dari mobil yang tak punya izin parkir khusus.
Maka kami pun harus berjalan jauh untuk masuk kawasan stadion. Saat itu tak kurang dari 4 kilometer kami berjalan menuju pintu masuk area stadion, dan tentu harus menempuh jarak sama untuk menuju mobil penjemput saat pulang.
Ke stadion, tanpa ID card atau karcis, siapa pun tak bisa masuk. Jadi kedua wartawan itu hanya berada di luar: mewawancarai atau memotret suporter yang mengalir masuk. Lalu melakukan hal sama saat laga usai. Jadi sama sekali tak ada unsur pertandingan yang bisa dicecap wartawan tanpa akreditasi itu, kecuali mereka membeli tiket dari calo, yang harganya sudah naik dua kali lipat.
Dengan segala kesulitan itu, para wartawan itu tetap bersemangat. "Kami bertekad menghadirkan suasana Piala Dunia kepada pembaca," kata salah seorang wartawan Jakarta yang siang itu saya temani ke Soccer City.
Nurdin Saleh (Johannesburg)