Prediksi itu bukan tanpa alasan. Digelarnya Piala Dunia di Afrika Selatan seharusnya memberikan keuntungan kepada tim-tim Afrika lantaran kondisi yang familiar dan dukungan fans yang lebih besar.
Tapi, sejauh ini prediksi itu belum terbukti. Dari enam wakil Afrika yang berlaga di Piala Dunia kali ini baru Ghana yang berhasil meraih kemenangan (1-0 atas Serbia).
Hasil yang diraih tuan rumah Afrika Selatan bahkan lebih parah. Setelah hanya bermain imbang 1-1 dengan Meksiko di laga pertama, Bafana Bafana dihajar 3-0 oleh Uruguay di laga kedua.
Kenyataan ini membuat para pemain dan pelatih tim-tim Afrika berbeda pendapat tentang apakah antusiasme dan dukungan besar dari para fans lokal menjadi faktor yang membantu mengangkat penampilan tim atau malah menambah tekanan.
“Saya pikir para fans bisa membantu tim mereka. Kami hanya harus bermain normal, tampil kuat di lapangan dan mengejar kemenangan. Tapi, dengan digelarnya Piala Dunia di Afrika, ada tekanan terhadap keenam tim yang mewakili Afrika,” kata bek Ghana, John Pantsil.
Sepanjang sejarah, baru ada dua wakil Afrika yang mencapai final Piala Dunia, hanya Kamerun (1990) dan Senegal (2002). Harapan publik Afrika untuk meraih prestasi yang lebih baik meningkat begitu Afrika Selatan mendapat kehormatan menggelar turnamen akbar itu.
Tapi, para pemain Afrika tahu bahwa prakteknya tak sesederhana teorinya.
“Meski pun turnamen ini digelar di Afrika Selatan, saat ini tengah musim dingin di negara itu. Kami tak percaya kami punya keuntungan,” ujar gelandang Nigeria, Dickson Etuhu.
Menurut Pantsil, sukses Ghana meraih kemenangan atas Serbia lebih disebabkan mereka telah mengambil pelajaran dari pengalaman di Piala Dunia 2006. Ketika itu, The Black Stars bangkit dari kekalahan dari Italia di laga perdana dan lolos ke 16 Besar.
Sukses itu membuat mereka lupa daratan dan yakin bisa mengatasi Brasil yang jadi lawan di perempat final. Ghana pun tampil menyerang dan membiarkan pertahaan mereka terbuka. Akibatnya, mereka menelan kekalahan 0-3.
“Masalah kami saat itu adalah percaya diri berlebihan. Kami ingin berbuat banyak dan minimnya pengalaman membuat kami gagal. Kini, kami punya pengalaman karea kami pernah tampil di turnamen ini sebelumnya,” papar Pantsil.
“Percaya diri berlebihan terkadang berbahaya. Itu membuat kita sulit berkonsentrasi untuk melakukan apa yang diinstruksikan pelatih.”
Saat melawan Serbia, Ghana memang menunjukkan bahwa mereka telah belajar dari pengalaman. Mereka menutup ruang buat Serbia dan tak merasa panik setelah berkali-kali gagal menembus gawang lawan hingga akhirnya mendapat hadiah penalti yang memastikan kemenangan mereka.
AP | A. RIJAL