TEMPO Interaktif, Thomas van Schaik, juru bicara Adidas, pernah menyatakan bahwa kritik atas bola Jabulani akan mati sendiri begitu turnamen akbar Piala Dunia digelar.
Saat itu kiper Inggris, David James, melukiskan bola itu mengerikan, striker Italia, Giampaolo Pazzini, melabelinya sebagai sebuah bencana, sedangkan Julio Cesar dari Brasil mengidentikkannya dengan bola "yang dibeli dari toko eceran".
David James dan Julio Cesar menambah lengking suara minor yang datang dari para penjaga gawang karena sebelumnya Mark Schwarzer dari Australia, Gianluigi Buffon dari Italia, dan Iker Casillas dari Spanyol sudah lebih dulu mengeluh. Buffon, misalnya, menyebutkan gerakan Jabulani di udara tak pernah bisa ditebaknya.
"Jika Anda melihat sejarah, selalu ada kritik atas bola resmi yang akan digunakan, tapi akan meredup setelah Anda melihat gol-gol hebat dan penyelamatan yang gemilang dari sana," kata Thomas.
Dia menegaskan, Jabulani jauh lebih akurat daripada bola-bola yang ada, yang memungkinkan pemain terbaik di dunia sekalipun bisa bermain lebih baik lagi. "Mereka bisa menendangnya ke arah mana pun yang mereka inginkan, dan para penjaga gawang mestinya bisa lebih memahami arah datang bola," begitu kata Thomas.
Turnamen telah bergulir genap sepekan, beberapa tim, termasuk Inggris, kelihatan jelas kesulitan bermain menggunakan Jabulani. Berlawanan dengan apa yang dikatakan Thomas dan Adidas, bola yang diklaim lebih sempurna bulatnya itu seperti tidak bisa "lengket" di kaki para pemainnya. Penerimaan pemain atas bola yang ditendang kiper banyak tidak sempurna, dan bola selalu melayang di atas tanah sekalipun itu hanya dioper dari kaki ke kaki.
Kiper Inggris, Robert Green, mengkambinghitamkan gerakan bola itu atas blunder yang dilakukannya ketika meloloskan bola tendangan lemah pemain Amerika Serikat, Clint Dempsey, dari dekapannya dalam pertandingan yang berakhir 1-1, Sabtu lalu.
Pemain Aljazair, Madjid Bougherra, juga menyalahkan Jabulani atas kesalahan fatal yang dibuat kipernya, Faouzi Chaouchi, yang membuat bola tendangan pemain Slovenia, Robert Koren, memantul melampauinya pada Minggu lalu. Adapun Koren mengakui gol tunggal yang mengantar kemenangan negerinya itu dibantu perilaku bola Jabulani, yang disebutnya, "Benar-benar sulit dikontrol."
Dickson Etuhu dari Nigeria tak bisa menahan dirinya untuk mengatakan bahwa Jabulani merupakan bola terburuk yang pernah ada. Setelah kekalahan negerinya oleh Argentina, Etuhu menyatakan bola tendangan kiper hampir pasti tak bisa diterima dengan kepala. "Anda tidak tahu ke mana dia melayang. Sangat sulit bermain dengan bola ini," kata dia.
Meskipun begitu, Andy Harland, doktor dari laboratorium Loughborough University, Inggris--laboratorium independen yang menguji akurasi dan stabilitas Jabulani--menegaskan, tak ada yang salah dengan desain dan teknologi Grip and Groove Jabulani. Hanya, Andy menjelaskan, aspek aerodinamika yang menjadi lebih baik itu memang membuat bola hanya delapan panel itu mampu terbang 5 persen lebih deras menembus udara.
Laju atau kecepatan yang lebih tinggi, ujar pakar di bidang teknik rekayasa bola sepak itu, membuat faktor ketinggian di atas muka laut dari stadion yang digunakan bisa menambah kecepatan dan variasi perjalanan Jabulani di udara. Jangankan faktor kadar udara yang lebih tipis di tempat yang lebih tinggi, variasi sudut tendangan yang kecil saja oleh pemain yang sama, di lapangan permainan yang sama, bisa menghasilkan perubahan besar terhadap arah serta perjalanan bola.
Variasi itu penting karena, menurut Andy, tidak ada yang bisa menendang bola dua kali dengan cara persis sama, kecuali robot seperti yang ada di laboratoriumnya. Tendang Jabulani dua kali dengan cara yang sama, Andy memastikan--lewat uji wind tunnel--Jabulani bereaksi lebih konsisten ketimbang bola jenis lain.
"Saya tahu sejumlah pemain mengeluh," kata dia. "Tapi pemain sepak bola harus dihargai karena keterampilannya mengolah bola yang memiliki respons konsisten."
Adidas justru menyalahkan banyak tim yang dianggapnya tidak memanfaatkan Jabulani dalam sesi latihan mereka meski bola itu sudah didistribusikan sejak Februari lalu. "Bermain di ketinggian tidak sama dengan di muka laut. Ini adalah pengetahuan yang sangat mendasar," kata Thomas sambil menambahkan bahwa obyek bulat ketika terbang di udara akan menghasilkan kedutan atau getaran. "Inilah yang terjadi pada bola."
Berdasarkan faktor geografis itu, Thomas dan Adidas menganalisis, sudah semestinya bertanding di Stadion Soccer City, Johannesburg, yang berada 1.740 meter di atas muka laut, merupakan yang paling berat. Itu diakui gelandang Afrika Selatan, Kagisho Dikgaco.
Tuan rumah bersama Meksiko, Uruguay, dan Prancis, yang tergabung dalam Grup A, kebagian bertanding di stadion itu. "Memang sulit jika ada umpan panjang yang datang ke arah Anda tapi bola itu berkedutan. Tapi mereka (FIFA) tentu tak akan mengganti bola," kata Kagisho.
Testimoni senada disampaikan Diego Forlan, striker Uruguay, yang sudah mencetak dua gol. Forlan mengatakan Jabulani bola yang bagus. "Masalahnya adalah, ketika Anda bermain di ketinggian, laju bola menjadi sangat cepat. Itu membuatnya sulit dikontrol."
l wuragil | scotsman | timesonline | bbc