TEMPO Interaktif, Johannesburg - Sehari setelah timnya menjalani laga perdana Piala Dunia 2010, menang 1-0 atas Kamerun, Senin lalu, pelatih Jepang, Takeshi Okada, tergeletak di kamarnya di hotel bintang lima Fancourt, George, Afrika Selatan bagian tenggara. Segarnya udara di antara Pegunungan Outeniqua dan Lautan Hindia belum mengusir penat yang mendera pria berusia 53 tahun ini.
"Jujur saja, saya capek," kata Okada. Pria berkacamata minus ini harus menghadapi hujatan, kritikan pedas, dan makian dari pengamat serta suporter negaranya sendiri menjelang turnamen berlangsung.
Gol semata wayang dari Keisuke Honda ke gawang Kamerun menjadi pelipur lara baginya. Energinya kian membesar karena suasana Jepang kini berbalik mendukungnya. Philippe Troussier, pelatih asal Prancis yang pernah membawa Jepang ke babak 16 besar pada 2002, bahkan memberi acungan jempol.
Foto selebrasi Honda menghiasi halaman-halaman muka media Jepang. Mereka menuliskan seribu sanjungan untuk Nippon Daihyo--pasukan Jepang, julukan kesebelasan mereka--juga untuk Okada. Terminologi "Okadaisme" bergema kembali.
Istilah "Okadaisme" muncul pertama kali pada Juni tahun lalu, seiring dengan kepastian lolosnya pasukan Samurai Biru--julukan lain mereka--ke Afrika Selatan. "Yakinlah kita akan membuat kejutan di sana. Kita akan ke empat besar." Begitu janji Okada. Pers menyebutnya sebagai "Okadaisme".
Bila sukses menembus babak semifinal di Piala Dunia, Jepang akan menyamai prestasi Korea Selatan yang mampu menduduki peringkat keempat Piala Dunia 2002. Di benak terdalam orang-orang Jepang, mereka boleh kalah oleh negeri mana pun, asal jangan dari Korea Selatan. Di sinilah Okadaisme mewakili perasaan tersembunyi masyarakat Negeri Matahari Terbit tersebut.
Jepang dan Korea bertetangga. Semenanjung Korea hanya berjarak 100 mil dari pulau utama Jepang. Mereka saling membenci, dan itu berbuah rivalitas di segala bidang: politik, ekonomi, budaya, dan olahraga. Kedua negara itu termasuk macan ekonomi Asia dan secara politik sama-sama disegani di dunia. Di bidang olahraga, kedua negara itu bersaing di banyak cabang, terutama bisbol. Dan selanjutnya sepak bola.
Kesuksesan Korea Selatan menjadi tim Asia pertama yang menembus semifinal Piala Dunia membuat Jepang jengkel. Para seniman Jepang membuat seri komik yang berjudul Hating Korean Waves, yang isinya menjelek-jelekkan beberapa kebiasaan masyarakat Korea. Seniman Korea membalasnya dengan komik sejenis. Ini bagian dari persaingan dua budaya, J-Pop dan K-Pop.
Dan sekarang persaingan berlanjut di Piala Dunia. Pada awalnya, Jepang bermimpi Okadaisme menjadi kenyataan. Namun mereka harus menekuk muka dalam-dalam karena tim nasional justru tampil runyam menjelang berjalannya turnamen.
Mereka mengalami empat kekalahan beruntun dalam uji coba terakhir. Ribuan e-mail langsung menyerbu kotak surat elektronik milik Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA). Intinya, Okada harus mundur. "Okada dibutakan oleh keinginan untuk mengalahkan Korea," kata Troussier saat itu.
Sebulan sebelumnya, Okada berkeliling Eropa untuk menyambangi para pemainnya yang merumput di sana. Dia mampir ke London. Arsene Wenger, pelatih Arsenal yang pernah lama tinggal di Jepang, menjamunya makan malam.
Wenger memberi penilaian, Jepang sekarang kehilangan roh setelah ditinggal generasi Hidetoshi Nakata, juga karena menurunnya performa Shunsuke Nakamura. "Saya katakan kepadanya, bila tim Anda mampu lolos dari babak grup (di Afrika), orang-orang negeri Jepang harus membuatkan patung Anda di pusat Kota Tokyo."
Okada adalah mantan stopper yang pernah 24 kali memperkuat Jepang. Pada 1998, dia mengawal Jepang ke Piala Dunia dan menuai hasil buruk: kalah terus dalam tiga laga. Setelah terakhir dipermalukan Korea, Mei lalu, sempat terlontar keinginannya untuk mundur. Tapi ucapan itu lantas dia anulir.
Okada mendapatkan kekuatan mentalnya lagi setelah berkonsultasi dengan Daito Noda, seorang master Zen ternama yang memiliki pesanggrahan di pedusunan tersembunyi. Untuk menghilangkan penat, Okada juga menulis puisi.
"Pelatih Okada adalah seorang pencari," kata sang guru, Noda, 64 tahun. "Dia mungkin ingat sesuatu dari beberapa cerita yang saya kisahkah kepadanya di sela jamuan minum kami."
Dalam pencariannya, Okada menemukan formula baru: menempatkan Honda sebagai penyerang tunggal. Honda adalah gelandang CSKA Moscow berusia 24 tahun. Dia bukan striker. Namun posisi barunya memungkinkannya menjadi pahlawan saat menghadapi Kamerun lalu.
Daito Noda menceritakan banyak kisah bijak kepada Okada. Salah satunya adalah tentang ilmu bela diri yang mengandalkan serangan tangan ke arah tulang punggung lawan, bukan ke dada seperti di aliran bela diri lain.
Malam nanti, ajaran sang guru mungkin berguna untuk menghadang Belanda di Durban. Jepang akan memukul "punggung" Belanda, bukan bagian "depannya".
BERBAGAI SUMBER | ANDY MARHAENDRA