TEMPO Interaktif, Johannesburg - Lelaki itu memakai bendera Amerika Serikat sebagai jubahnya. Vuvuzela di tangan kiri, bir di tangan kanan. Ia duduk tak jauh dari saya saat menyaksikan pertandingan Amerika Serikat melawan Slovenia di Stadion Ellis Park, Jumat lalu.
Sepanjang pertandingan, ia terus menenggak bir. Ia juga sempat menyambut tawaran temannya dan meneguk minuman dari kaleng kecil dengan bau alkohol lebih menyengat. Ia tampak antusias, juga kasar. Tiap kali berucap, kata fuck bertebaran dalam kalimatnya. Ia memaki para pemain Amerika yang tampil buruk di lapangan. Ia juga berteriak-teriak meminta pelatih mengganti pemain tertentu.
Saat Amerika ketinggalan 2-0, ia dengan jengkel memukulkan vuvuzela-nya ke bangku kosong di depannya. Saat tim yang didukungnya berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2, ia justru kian gencar memukulkan vuvuzela-nya.
Ketika gol kedua Amerika tercipta, ia pun menyembur-nyemburkan bir dari botolnya ke udara. Tindakan itu serupa dengan selebrasi suporter Amerika lain yang memenuhi tribun di samping tribun pers. Malam itu, Amerika memang mendapat dukungan cukup banyak suporter, yang memenuhi sebagian besar tribun stadion berkapasitas 35 ribu itu.
Yang tampak menonjol kemudian, bir hampir selalu tampak di tangan para suporter itu. Minuman tersebut memang dijual bebas dalam stadion dan tampaknya menjadi teman pas untuk menonton pertandingan di tengah gempuran udara dingin hingga 6 derajat Celsius itu.
Tapi yang patut dicatat, meski berteman dengan bir yang menyeruakkan bau alkohol, mereka relatif tertib. Kelakuan pria kasar yang saya ceritakan di atas mungkin yang terburuk yang saya saksikan di stadion itu. Selebihnya, pertandingan Piala Dunia selalu nikmat untuk ditonton, bahkan oleh para wanita, yang malam itu saya lihat cukup melimpah jumlahnya.
Seusai pertandingan, saya juga menyaksikan beberapa keluarga meninggalkan stadion dengan menuntun anak yang masih balita. Kondisi ini mengingatkan saya akan Indonesia. Di Tanah Air, menonton sepak bola masih dihindari wanita dan keluarga, karena khawatir akan ulah brutal suporter.
Nurdin Saleh (Johannesburg)