Alex Alamsyah, salah seorang pengusaha itu, sudah tinggal di Negara Pelangi tersebut sejak 2006. Pria kelahiran Padang 29 tahun lalu itu terus berusaha memasarkan berbagai barang produk Indonesia di Afrika selatan. "Tapi yang menjanjikan baru dua," katanya seraya menyebut rokok kretek produk Jawa Timur serta mi instan keluaran pabrik terkemuka di Indonesia.
Pria yang tengah menunggu kelahiran bayi pertamanya itu mengatakan, semula ia bekerja sebagai distributor salah satu produk rokok di Singapura. Kemudian ia ditawari membuka pasar di Afrika Selatan, yang langsung ia terima.
Selama setahun ia habiskan untuk membangun jaringan di Johannesburg, tempatnya kini tinggal bersama istrinya. Agar mudah, ia bekerja sama dengan agen-agen lokal. "Kini saya bisa memasok 100 slop rokok per bulan," katanya. Rokok kretek di negara ini diperlakukan seperti cerutu. "Peminatnya adalah kalangan atas. Dipasarkannya di mal-mal."
Belakangan, sejak 2008, ia juga mulai memasukkan mi instan. Sambutan masyarakat setempat justru lebih bagus. "Saya langsung menyebarkan barang ke kampung-kampung," katanya.
Terkadang ia harus nekat mendatangi langsung daerah-daerah rawan di Johannesburg guna mempromosikan produknya. Hasilnya, "Kini saya sudah bisa memasok 1.600 dus per bulan," kata Alex.
Salah satu tuntutan melakukan bisnis di negara ini adalah kehati-hatian. Alex tak pernah mau mengirim barang sebelum pembeli mentransfer uang. Toh, pada 2007 ia pernah tertipu 15 ribu rand. Meski pembeli sempat mentransfer uang, ternyata saat barang dikirim uang itu ditarik lagi. Lewat proses panjang, bank yang bersangkutan akhirnya mau memberikan ganti rugi.
Kini Alex terus berusaha memasarkan berbagai produk makanan dan minuman baru dari Indonesia. Tapi diakuinya tak mudah karena ia harus bergerak dari awal untuk mengenalkan produk itu kepada masyarakat setempat. "Butuh waktu dan biaya," katanya.
Untuk mendatangkan barang ke Afrika selatan, Alex kerap menggunakan jasa pengapalan PT Lautan Ashanda Lima milik Sariat Arifia, yang bermitra dengan perusahaan Afrika Selatan, New South Africa Shipping.
Sariat juga merupakan pengusaha asal Indonesia yang kini bermukim di Johannesburg. Pria asal Jakarta itu sudah menggarap pasar Afrika Selatan sejak 2004. Ia memutuskan berdiam di negara itu sejak dua tahun lalu. "Saat itu Indonesia lagi krisis dan banyak sekali ribut-ribut. Daripada pusing saya pilih ke sini," katanya.
Ia sempat mengalami masa sulit. "Tahun 2004-2006 sangat sulit. Kondisi 2007 seperti batuk-batuk, tapi sejak 2008 ke sini pertumbuhannya cukup bagus," kata lelaki berusia 35 tahun itu. "Kini saya bisa mengapalkan 1.000 kontainer setahun."
Kini Ia juga mulai mengikuti jejak Alex untuk memasarkan produk-produk makanan tahan lama asal Indonesia. Jumlah barang yang ia datangkan mencapai 70 item, termasuk bumbu siap saji, kerupuk, sambal, bahkan ikan asin.
Sariat, yang juga jadi pionir pengembangan silat di Afrika Selatan, juga tengah berencana membangun restoran khas Asia, yang di dalamnya menyertakan makanan khas Indonesia. Ia akan bekerja sama dengan Dirk Greeff, warga asli yang merupakan distributor bahan kebutuhan konsumsi yang didatangkan dari Asia.
Saat ditemui, Greeff mengakui, sejak dibukanya channel khusus soal kuliner oleh BBC, minat masyarakat Afrika Selatan terhadap makanan khas Asia meningkat tajam. Saat ini pun sudah banyak berdiri rumah makan atau restoran khas Cina dan Thailand di Afrika Selatan. Tapi ia optimistis restoran yang akan didirikannya nanti bisa menembus kalangan menengah atas.
Selain Alex dan Sariat, masih ada satu pengusaha asal Indonesia yang beroperasi di Pretoria. Henriko, yang berayah asal Afrika Selatan, bergerak di bidang pemindahan barang.
Nurdin Saleh (Johannesburg)
Pasar Potensial yang Belum Dilirik
Afrika Selatan belum dianggap sebagai pasar potensial oleh para pengusaha Indonesia. Ketika pesanan sudah datang pun, banyak pengusaha dari Indonesia yang ogah-ogahan memenuhinya.
"Banyak pengusaha Indonesia yang menganggap Afrika selatan masih belantara. Padahal negara ini sudah lebih maju dari Indonesia," kata Wawan Sudarmawan, Direktur Indonesian Trade Promotion Center (ITPC), di Johannesburg. "Di sini infrastrukturnya bagus dan tingkat kehidupan masyarakat hampir sama dengan Eropa."
Selain soal persepsi keliru itu, kurangnya minat pengusaha juga disebabkan tingginya tingkat kriminalitas di negara tersebut. Berdasarkan statistik, rata-rata terjadi 50 kasus pembunuhan setiap hari.
Wawan mengatakan, pihaknya masih harus bekerja keras membantu memasarkan produk Tanah Air karena nama Indonesia belum banyak dikenal warga Afrika Selatan. Langkah yang ditempuh antara lain dengan gencar melakukan promosi dalam pameran-pameran.
Indonesia sudah mampu melakukan ekspor ke Afrika Selatan. Pada 2009 nilainya mencapai US$ 692 juta, termasuk dari produk nonmigas, seperti karet, minyak goreng, kertas, sepatu, dan kendaraan bermotor.
Jumlah itu turun 22 persen dari tahun sebelumnya karena adanya krisis global. "Tapi tahun 2010 saya perkirakan akan kembali naik, paling tidak menyamai nilai tahun 2008 karena kondisi ekonomi global sudah membaik," kata Wawan.
Produk Indonesia yang dianggap potensial untuk dipasarkan di Afrika Selatan antara lain furnitur dan bahan makanan.