TEMPO Interaktif, Rabia Sayed pernah dianggap sebagai bocah ajaib. Dalam perjalanan hidupnya, ia sempat bersentuhan dengan Indonesia dan nyanyiannya sempat membuat Presiden Soeharto (almarhum) menangis.
Saya bertemu dengan Alauddin Sayed, ayah Rabia, di Johannesburg. Dari dialah kisah Rabia yang penuh warna terpapar. Binar bangga dan rasa sayang jelas terpancar saat Alauddin, 60 tahun, menuturkan kisah sang putri.
Rabia lahir di Cape Town, 24 tahun silam. Sejak kecil, ia sudah tampak memiliki bakat di bidang tarik suara. Ayahnya, seorang muslim keturunan Melayu, mengarahkan sang putri untuk mendalami seni baca Al-Quran (qiraah). "Sebelum bisa membaca, ia sudah hafal banyak ayat Al-Quran dan bisa melantunkannya dengan indah," kata Alaudin.
Pada usia 10 tahun, nama Rabia sudah melambung berkat kemampuannya sebagai qariah. Ia tampil mempesona pada acara qiraah wanita internasional pada 1994. Ia juga mendapat banyak pujian saat tampil pada Qiraah Internasional tahunan di Cape Town pada 1997, yang saat itu disiarkan langsung televise Afrika Selatan. Rabia menjadi buah bibir di kalangan muslim Afrika Selatan, yang jumlahnya saat itu masih di bawah 2 juta jiwa.
Kemampuan Rabia pun menarik perhatian pemerintah Indonesia. Departemen Agama memberinya beasiswa selama 6 bulan untuk mempelajari ilmu qiraah di Yayasan Pendidikan Al-Quran (YPA) Fathimiyah Jakarta. Alaudin memutuskan untuk menemani sang putri ke Indonesia. Dua bulan di Indonesia, Rabia sudah mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Selain di YPA, Rabia sempat menuntut ilmu di Pondok Pesantren Tunas Harapan Riau. Total ia tinggal di Indonesia hampir 2 tahun. Selain belajar ilmu tilawah, ia sempat mendalami olah vokal.
Rabia sudah hafal 20 juz Al-Quran saat belajar di Indonesia. Ia pun sempat menunjukkan kebolehannya pada Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) nasional di Jambi pada pertengahan 1997. Presiden Soeharto saat itu ikut hadir mendengarkan lantunan ayat Al-Quran dan nyanyian dari sang dara Afrika Selatan itu. Keduanya menjadi dekat.
Tak mengherankan, saat melakukan kunjungan tiga hari ke Cape Town, pada November 1997, Soeharto langsung mencari dara ini. Pemerintah Afrika Selatan pun harus sibuk mendatangkan Rabia, yang saat itu sudah tinggal di Johannesburg.
Saat bertemu, Alauddin melukiskan ada keakraban di antara keduanya. Soeharto memanggil Rabia dengan putri, sedangkan Rabia menyebut "Papa Soeharto".
Rabia juga saat itu sempat tampil menyanyikan lagu ciptaannya sendiri tentang Indonesia. "Lagu itu dalam bahasa Indonesia, bercerita tentang Indonesia, tentang keindahan alamnya dan keramahan penduduknya," kata Alauddin.
Di tengah lantunan lagu itu, Alauddin pun melihat Soeharto menangis. "Mungkin ia jadi terharu. Saat itu dia datang hanya ditemani 40 orang dan di Indonesia mulai muncul suara yang menuntutnya mundur."
Kini Rabia sudah menikah dan tinggal di Johannesburg. Ia masih kerap mendapat panggilan untuk melantunkan ayat Al-Quran di berbagai acara yang digelar komunitas muslim Afrika Selatan. Ia bahkan pernah unjuk kebolehan pada acara nasional di depan tiga presiden Afrika Selatan yang berbeda.
Rabia juga terus menekuni hobinya menyanyi. Atas sponsor lembaga swadaya masyarakat Gift for the Givers, ia baru menerbitkan album pertamanya, The Gift. Album hasil kolaborasi dengan beberapa artis lokal dari berbagai jenis musik itu sebagian besar lagunya adalah hasil karya Rabia yang ditulis dalam bahasa Inggris. Isi lagu-lagu itu seluruhnya berciri Islami.
Satu harapan Rabia adalah suatu saat bisa kembali menjejakkan kaki di Indonesia. "Ia tak pernah lupa akan keindahan dan keramahan negeri Anda dan selalu menyatakan hasratnya untuk kembali ke sana," kata Alauddin.
Nurdin Saleh (Johannesburg)
Mereka Menyumbang buat Korban Tsunami
Alauddin Sayed bekerja sebagai manajer cabang di LSM Gift for the Givers di Johannesburg. Lembaga tersebut adalah pengumpul donasi itu, yang juga pernah menyalurkan bantuannya untuk Indonesia.
"Kami menyalurkan bantuan 500 ribu rand (Rp 600 juta) untuk bencana tsunami Aceh," kata Alauddin. "Kami juga sempat membantu korban gempa di Padang dan memberi bantuan teknis dan benih saat terjadi masalah pangan di Kupang dua tahun lalu."
Gift for the Givers didirikan oleh Dr Imtiaz Sooleman pada 1992. Meski didirikan oleh orang muslim, lembaga itu mengarahkan kiprahnya untuk semua golongan.
Selain menyalurkan dana dari penyumbang di seluruh belahan dunia, lembaga itu mendapat dana dari sejumlah usaha sendiri, termasuk menjual makanan-makanan suplemen Sibusiso, yang merupakan hasil temuan Imtiaz.
Sejak berdiri, lembaga tersebut sudah menyalurkan 300 juta rand (Rp 360 miliar) bantuan ke seluruh dunia, termasuk korban gempa Haiti dan tsunami di Bangladesh.
Di dalam negeri, LSM yang mengklaim diri sebagai yang terbesar di Afrika itu--bahkan salah satu yang terbaik di dunia--juga membantu penguatan masyarakat di berbagai negara, dengan menyediakan air bersih serta sekolah bagi warga miskin, dan di Afrika Selatan, mereka sudah membantu membangun 200 lapangan sepak bola bagi warga tak mampu.
"Kapan pun ada permintaan dari Indonesia, kami siap membantu," kata Alauddin.
Nurdin