TEMPO Interaktif, Makassar - Syarifuddin, 17 tahun, duduk bersila di depan televisi berukuran 29 inci. Pemuda ini sedang menyaksikan pertandingan Portugal melawan Korea Utara, Senin malam lalu. Berkali-kali dia bersorak kegirangan kala mendengar teriakan komentator pertandingan dan gemuruh penonton di sela kebisingan vuvuzela pertanda salah satu tim berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Malam itu pemain-pemain Portugal berhasil memasukkan tujuh bola tanpa balas ke gawang Ri Myong-guk.
Syarifuddin adalah salah seorang penyandang tunanetra (buta) yang tinggal di Yayasan Pembinaan Tunanetra Indonesia (YPTI) di Jalan Piere Tendean Blok M Nomor 7, Kelurahan Ujungpandang Baru, Kecamatan Tallo, Makassar. Dia menderita kebutaan kategori "low vision", jenis kebutaan dengan pandangan sempit.
Meskipun buta, ia tidak ketinggalan mengikuti siaran langsung Piala Dunia. Siswa kelas II SMA Negeri 6 Makassar ini dapat menonton televisi dengan jarak 1 meter. "Tergantung jenis dan ukuran televisinya. Meskipun besar, belum tentu dapat dilihat, seperti sekarang ini hanya melihat bayangannya sembari mendengar suara komentator," kata Syarifuddin.
Dia menyaksikan siaran langsung Piala Dunia di lantai dua gedung YPTI. Ruangan ini berukuran 10 x 15 meter, bercat putih. Syarifuddin ditemani Subuh Baco, 41 tahun, Kepala Asrama YPTI sekaligus guru Sekolah Luar Biasa para penyandang tunanetra.
Kala Tempo memasuki ruangan tersebut, penyandang tunanetra lainnya berdatangan, di antaranya Air Langga Wahyu Irwan, 17 tahun, Hamsah M. Yamin (38), Arifin Amin (27), Fandy Dawena (27), dan Muh. Rais (27). Mereka ikut bergabung mendengarkan siaran langsung Portugal melawan Korea Utara.
"Bukan hanya Piala Dunia yang kami tonton. Liga Indonesia, Liga Italia, Inggris, Spanyol, dan Liga Champion tidak ada yang terlewatkan, termasuk bulu tangkis," kata Fandy Dawena.
Sementara Fandy asyik bercakap dengan Tempo, tiba-tiba tepuk tangan dan sorak-sorai bergemuruh di ruangan tersebut. Pemain Portugal, Simao Sabrosa, berhasil mencetak gol ke gawang Korea Utara di menit ke-52. Ruangan itu semakin bergemuruh ketika pemain termahal di dunia, Cristiano Ronaldo, memperbesar keunggulan Portugal menjadi 6-0 pada menit 87.
"Wah, hebat memang dia. Indah sekali golnya. Sungguh luar biasa," Syarifuddin memuji melihat kemampuan Ronaldo.
Berkali-kali terdengar teriakan dan tepuk tangan di ruangan itu saat pemain Portugal mengancam gawang Korea Utara. Mereka sudah paham suara komentator kala pertandingan sedang seru ataupun pemain berhasil memasukkan bola ke gawang.
Berbeda dengan Syarifuddin, hanya dapat mendengarkan siaran langsung Piala Dunia. Dia menderita kebutaan sejak kecil. "Kata orang, ini bukan acara nonton bareng, melainkan dengar bareng. Kami sih tidak pernah marah karena memang begitu kenyataannya," kata dia.
Dia mengatakan, selama Piala Dunia di Afrika Selatan digelar, ruangan di lantai dua gedung tersebut selalu penuh. Namun mereka hanya menonton pertandingan pertama pada pukul 19.30 Wita. Pada 22.00 Wita, ruangan tersebut berangsur sepi karena sebagian dari mereka memilih beristirahat.
Yayasan tempat tinggal Syarifuddin dan Subuh tersebut berdiri pada 1971, dipimpin Ir Haji Saiful Saleh, yang juga Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Makassar. Untuk membiayai para penghuni, YPTI mendapatkan bantuan dari para dermawan dan dari Departemen Sosial sebesar Rp 24 juta per tahun.
"Uang ini digunakan untuk makan anak-anak selama setahun," ucapnya.
Di yayasan ini terdapat 30 orang penyandang tunanetra, berasal dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, seperti Kota Makassar, Kabupaten Selayar, Majene, Palopo, Pinrang, Bantaeng, Bulukumba, Gowa, Tana Toraja, dan Bone. Ada pula dari Pulau Jawa.
"Jika ada yang masuk ke sini, tidak kami kenakan biaya. Cukup membawa kartu tanda pengenal. Patut disyukuri, mereka bisa bersaing dengan orang normal, terbukti bisa kuliah di perguruan tinggi," kata Subuh.
ARDIANSYAH RAZAK BAKRI