TEMPO Interaktif, Hari-hari Bushemand tidak selalu indah. Remaja 14 tahun itu hidup di tengah lingkungan miskin di Soweto, Johannesburg. Ia bahkan tampak ragu saat ditanya apakah akan meneruskan sekolah hingga universitas.
Tapi, di tengah kemuraman itu, sepak bola membuatnya bisa melupakan segala persoalan keluarganya. Sepak bola juga membuatnya bisa tetap berharap akan masa depan yang lebih baik. “Saya sangat menyukai sepak bola. Saya sangat menikmati bila sedang berlatih atau bermain di lapangan,” kata Bushemand.
Ia kini tinggal di Soweto--daerah padat di bagian barat daya Johannesburg yang jadi pemusatan warga kulit hitam semasa apartheid dulu--bersama neneknya. Ia sudah yatim-piatu, tapi cukup beruntung masih memiliki kakak perempuan yang bekerja di tempat pembuatan cokelat. Kakaknya inilah yang menyokong seluruh kebutuhan keluarga, termasuk untuk pendidikannya. “Saya kini sudah kelas VI,” kata Bushemand.
Bushemand ditemui di tengah para pemain sepak bola remaja yang Senin lalu hendak ikut serta dalam turnamen lokal yang digelar sebuah lembaga swadaya masyarat di Marlboro Sport Stadium. Ia akan segera berlaga memperkuat klubnya, Alexandra Seville FC.
Ia mengaku selalu antusias mengikuti latihan yang digelar tiga kali seminggu. Semangatnya kian berkibar setelah ia melihat para bintang berlaga di Piala Dunia kali ini. “Saya selalu menyempatkan diri menonton di televisi,” katanya.
Ia semula bercita-cita menjadi pilot. Tapi belakangan, setelah menonton Piala Dunia, ia mulai berpikir untuk berusaha menjadi pemain sepak bola profesional dan berharap suatu saat bisa memperkuat tim nasional.
“Akan sangat membanggakan bisa mewakili negara,” kata pengagum Ronaldinho itu. “Lagi pula menjadi pemain bola bisa mendapat uang banyak sehingga saya bisa membantu keluarga.”
Harapan menjadi bintang besar juga diusung oleh Sizwe, remaja anggota klub Seville lainnya. Remaja kurus berusia 14 tahun itu mengaku berharap ingin jadi dokter. Tapi, bila harus memilih, ia tak ragu untuk jadi pemain sepak bola seperti bintang pujannya, Didier Drogba. “Menjadi pemain sepak bola itu uangnya bagus dan kita pun bisa dikenal di seluruh dunia,” katanya.
Bushement dan Sizwe adalah bagian dari sekitar 25 pemain yang tergabung di klub Sevilla. Mereka rata-rata berasal dari keluarga miskin sehingga pengelola klub tak pernah menarik bayaran dari mereka. “Kami harus berusaha mencari sponsor untuk membiayai keikutsertaan klub dalam kompetisi,” kata Oubry Sechoro, pelatih klub Sevilla.
Sevilla biasanya berkompetisi secara teratur dalam liga Alexandra Football Association. Kompetisi diikuti 16 tim dan digelar pada April sampai September. “Tahun lalu kami juara, sedangkan musim ini masih ada di urutan ketiga,” kata Sechoro.
Sechoro, yang berprofesi sebagai guru, sudah empat tahun melatih klub itu. Ia melihat minat anak-anak di sekitar klub Alexandra sangat tinggi untuk bergabung. “Tapi kami harus memilih yang terbaik dari mereka,” katanya.
Ia pun lantas menunjuk seorang anak yang mengenakan penutup telinga dalam tim yang tengah bersiap untuk bertanding. “Ia paling berbakat di antara teman-temannya. Bila mendapat kesempatan memadai ia bisa jadi pemain besar. Tapi ia harus mendapat dukungan, termasuk untuk peningkatan gizinya,” katanya. “Sayangnya hampir seluruh anggota klub kami berasal dari keluarga miskin. Kami pun tak punya fasilitas memadai.”
Sevilla biasanya berlatih di Stadion Marlboro Sport, yang saat itu akan dijadikan turnamen antartim usia U-16. Stadion tersebut sudah memiliki tribun, tapi selebihnya tak ada fasilitas lain di tempat itu, hanya lapangan rumput luas dengan dua gawang di ujung-ujungnya. Rumputnya rimbun, tapi saat itu tampak mulai mengering digerus musim.
Sello Mahlangu, pelatih Moroka Lions FC-–klub lain di Alexandra--juga mengakui bahwa tempat latihan timnya tidaklah ideal. “Tapi kami beruntung memiliki tempat untuk latihan. Semua anak di klub ini berlatih dengan gratis dan ketua klub harus bekerja keras mencari bantuan untuk menyokong operasional klub,” katanya.
Hari terus beranjak siang. Matahari menyorot kian terang, tapi udara Johannesburg tetap bisa membuat badan menggigil. Bushemand dan Sizwe bersiap untuk bermain. Timnya akan menghadapi Moroka.
Berbekal seragam yang dibagikan panitia, para remaja yang rata-rata bertubuh kurus dan mungil itu tampak bersemangat. Mereka masih belia dan belum jadi apa-apa, juga tak punya apa-apa. Tapi mungkin saja, berbekal semangat menggebu, mereka bisa menjadi andalan Bafana Bafana berikutnya.
l NURDIN SALEH (JOHANNESBURG)