TEMPO Interaktif, Ketika saya tiba di Bandar Udara Frankfurt untuk meliput Piala Dunia 2006, seorang petugas imigrasi begitu keheranan melihat kedatangan saya. "Bukankah tim Indonesia tidak ikut?" katanya. Ia mungkin akan semakin heran jika tahu ada ratusan orang Indonesia berbondong-bondong menempuh ribuan kilometer demi menyaksikan pertandingan atau jutaan orang lainnya rela begadang setiap hari saban Piala Dunia digelar.
Kegilaan masyarakat kita terhadap sepak bola memang tidak perlu diragukan. Pendukung klub sepak bola ada di mana-mana. Bupati dan wali kota atau keluarganya berebut menjadi ketua klub. Ratusan miliar rupiah uang rakyat di anggaran pendapatan dan belanja daerah dikucurkan ke klub-klub bola, meski dilarang peraturan pemerintah. Tawuran antarpendukung sering menjadi headline koran-koran. Unjuk rasa meledak karena siaran langsung Liga Inggris hanya bisa ditonton di televisi berbayar.
Berbagai kompetisi digelar sepanjang tahun, dari Liga Super, kejuaraan antarsekolah, sampai pertandingan bapak-bapak berdaster saat peringatan 17 Agustus. Tidak hanya sekali presiden, menteri, sampai lurah bermain sepak bola persahabatan. Ini menunjukkan dukungan masyarakat dan pejabat terhadap permainan si kulit bundar sangat besar.
Tapi besarnya animo ini tidak lantas mendorong prestasi sepak bola nasional. Di tingkat Asia Tenggara saja, Indonesia terakhir menjadi juara pada SEA Games 1991. Jadi jangan berharap banyak di tingkat Asia, apalagi dunia.
Padahal berbagai upaya telah dilakukan PSSI untuk meningkatkan prestasi tim nasional. Pelatih asing, dari Tony Poganik, Ivan Kolev, Anatoly Polosin, sampai Peter with, didatangkan. Bukan itu saja, Indonesia juga pernah mengirim tim junior Primavera dan Barreti berguru ke pusat sepak bola dunia, Italia, pada 1990-an.
Untuk sementara, kita lupakan saja prestasi tim senior dan mengubur impian melihat bendera Merah Putih di Piala Dunia 2014 atau 2018. Kita lebih baik berfokus memikirkan tim masa depan.
Ini juga tidak gampang. Seorang peneliti sepak bola, Dr Imam Syafii, menganggap kegagalan beruntun ini akibat lemahnya penguasaan teknik dasar yang dimiliki pemain karena sistem kepelatihan yang diterima sejak usia dini kurang memenuhi standar. Menurut dia, jika ada 100 pelatih, ada 100 model kepelatihan. Akibatnya, tentu saja, ketika pemain terpilih masuk tim nasional, permainan mereka menjadi tidak jelas arahnya.
Lain lagi dengan Ketua Badan Liga Amatir Indonesia dan Pembinaan Usia Dini PSSI Iwan Budianto. Ia menuding skill, fisik, dan gizi pemain kita di bawah standar, sehingga selalu kalah bersaing dengan tim negara lain.
Artinya, selain memiliki sistem pembinaan usia dini yang jelas, untuk memajukan sepak bola, kita harus makmur dulu sehingga gizi cukup dan fisik kuat. Perkara skill bisa diasah di sekolah sepak bola yang andal. Sambil menunggu Indonesia makmur, ada baiknya keluarga kelas menengah memelopori pembangunan sepak bola dengan mengirim anak-anak mereka, yang berminat, masuk ke sekolah sepak bola.
Dengan gizi yang prima, ditambah inteligensi hebat, dan di tangan sistem kepelatihan yang benar, anak-anak mapan ini bakal menjadi pemain masa depan yang hebat. Urusan selesai? Belum. Dukungan dan dorongan serta sedikit paksaan dari orang tua harus terus diberikan kepada anak.
Kita perlu banyak orang tua seperti ayah Wayne Rooney, yang dengan tegar menyemangati dan sesekali memarahi anaknya untuk serius berlatih sepak bola manakala mereka mulai bosan dan jenuh. Jika ada seribu keluarga seperti ini, mimpi Piala Dunia kita akan terwujud 12 atau 16 tahun lagi. Bayangkan pemain yang sedang dielu-elukan penonton di Stadion Old Trafford atau Santiago Bernabeu adalah putra Anda.
Yudono Yanuar, wartawan Tempo