TEMPO Interaktif, Partai Uruguay melawan Korea Selatan di Stadion Nelson Mandela Bay, Port Elizabeth, malam ini, bakal menjadi pertarungan yang baik secara logika maupun sejarah sepak bola tidak seimbang.
Uruguay, juara dunia 1930 dan 1950, adalah bagian dari sejarah sepak bola dunia. Uruguay pula yang telah "melukai" hati rakyat Brasil di final Piala Dunia 1950. Di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil, di hadapan sekitar 250 ribu penonton, Uruguay mengalahkan Brasil, yang kami sebut sebagai raksasa sepak bola dunia. Kekalahan itu membuat penonton pulang dengan air mata.
Uruguay adalah juara ketika pesta sepak bola dunia itu digelar untuk pertama kali di Montevideo, Uruguay, pada 1930. Melawan Korea Selatan di babak kedua, Celeste, julukan Uruguay, sebagai Bi-Campeao Mundial. Modal sejarah inikah yang bisa membuat Korea menjadi korban "keganasan" Diego Forlan dan Luiz Suarez?
Jelas bukan kebetulan jika anak buah Huh Jung-moo lolos ke babak 16 besar dengan menyingkirkan Yunani, juara Eropa 2004, dan tim Elang Afrika, Nigeria. Semula tidak tidak ada yang menyangka Korea bisa selamat dari grup maut itu. Ini boleh dikatakan sebagai sebuah prestasi luar biasa. Apalagi Korea Selatan adalah tim Asia, yang kalah pamor dibanding sepak bola di Eropa maupun Afrika.
Korea Selatan lolos tentu saja dengan bersusah payah, terutama ketika menghadapi Nigeria di partai terakhir Grup B, yang juga diisi Argentina. Jika ingin bertahan di Afrika, Korea harus bekerja lebih keras dan bisa mencetak gol lebih awal dibanding Uruguay.
Saya menjagokan Uruguay karena pasukan Oscar Washington Tabarez itu sangat sempurna dengan empat gol tanpa kebobolan: imbang tanpa gol lawan Prancis, mengalahkan tuan rumah Afrika Selatan, dan menyikat Meksiko.
Secara mental, pemain-pemain Uruguay berada dalam kondisi puncak. Tapi apakah Uruguay bisa lengah dan meremehkan Korea Selatan, yang telah dikalahkan wakil Amerika Selatan yang lain, Argentina, 4-1, di Grup B.
Adalah tugas berat Oscar Tabarez untuk mempersiapkan tim guna menghadapi babak knock-out yang sangat kejam ini. Kesalahan sedikit apa pun akan memastikan tiket pulang. Pengalaman Tabarez sebagai pelatih Uruguay pada Piala Dunia 1990 di Italia, saat kalah di babak knock-out, jelas akan menjadi pengalaman berharga.
Apakah Uruguay akan benar-benar menguasai dunia dengan mengalahkan semangat juang dan loyalitas Korea Selatan?
Sangat jelas bahwa peran Park Ji-sung di Korea Selatan belum segemilang seperti di Manchester United, meski dia dinobatkan sebagai Man of the Match ketika melawan Yunani dan Nigeria. Di mata saya, Lee Jung-soo (Kashima Antlers) dan Park Chu-young (Monaco) lebih dominan dibanding Park Ji-sung. Tapi bagaimanapun, Korea punya potensi menyerang balik dan manfaatkan bola mati yang sangat menakutkan.
Secara logika, saya harus tetapkan Uruguay sebagai favorit untuk memenangi partai ini. Saya melihat apa yang mereka lakukan di babak penyisihan grup sudah menjadi jaminan kualitas. Tapi hati nurani saya berkata Korea Selatan bisa menyulitkan Celeste, anak-anak Uruguay itu.