TEMPO Interaktif, Dalam sebuah film dokumenter Kill The Referee, wasit asal Swiss, Massimo Busacca, berkata kepada seorang pemain di Piala Eropa 2008 bahwa wasit adalah manusia yang tak luput dari kesalahan. "Saya bukan Tuhan," ujarnya wasit berumur 41 tahun ini. Toh, kemarin lagi-lagi Busacca menuai sumpah serapah menyusul kekalahan tuan rumah Afrika Selatan oleh Uruguay 0-3. Gara-garanya, kiper Itumeleng Khune diganjar kartu merah oleh Busacca.
"Itu adalah penampilan terburuk wasit di kompetisi ini," kata pelatih skuad Bafana Bafana, Carlos Alberto Parreira. "Saya harap kami tak lagi melihat mukanya di turnamen ini karena dia tak layak ada di sini." Padahal Busacca adalah salah satu wasit terbaik di dunia saat ini, setidaknya versi FIFA.
Begitulah, wasit memang menjadi salah satu perhatian utama di kompetisi sepak bola paling bergengsi di dunia itu. Sejumlah kalangan menilai wasit-wasit di Piala Dunia 2010 terlalu gampang mengeluarkan kartu. Belum sepekan Piala Dunia 2010 digelar, sudah empat kartu merah keluar. Alhasil, tak sedikit pemain dan tim yang dirugikan atas keputusan kontroversial itu.
Saat berlangsung laga Brasil versus Pantai Gading, misalnya, wasit asal Prancis, Stephane Lannoy, buru-buru mengeluarkan kartu merah buat Kaka dan mengesahkan gol Luis Fabiano yang jelas-jelas handball. Lalu, ketika Amerika Serikat melawan Slovenia, wasit asal Mali, Koman Coulibaly, menganulir gol yang dicetak oleh gelandang Maurice Edu pada menit ke-85. Amerika pun batal memetik kemenangan atas Slovenia.
Media Amerika Serikat pun beramai-ramai mengutuk Coulibaly. Mereka mendesak agar ia disidang di Komisi Wasit FIFA. Namun FIFA menolak memulangkan Coulibaly, yang belakangan dikandangkan. Komisi Wasit menyatakan belum menentukan jadwal pemulangan wasit sebelum babak sistem gugur. Kecaman tak berhenti sampai di situ. Kamis lalu, giliran pelatih Argentina, Diego Maradona, mengecam wasit Irmatov Ravshan.
"Di mana fair play yang terkenal itu?" ujar Maradona, sengit. Legenda sepak bola dunia yang terkenal dengan sebutan Gol Tangan Tuhan itu gemas lantaran wasit Ravshan terkesan membiarkan sejumlah pemain Yunani kerap melakukan pelanggaran fisik terhadap bintang Argentina, Lionel Messi. "Setiap kali Messi membawa bola, dia selalu dijatuhkan. Kami mesti bilang apa lagi?"
Alex Stone, juru bicara FIFA, punya dalih. "Menjadi wasit bukanlah pekerjaan mudah," ujarnya. "Ini pekerjaan mustahil." Menurut dia, ada 32 tim dengan 17 bahasa yang berlaga. "Mana mungkin wasit memahami semuanya," kata Stone. Hal senada diungkapkan oleh Kepala Komisi Wasit Jose Maria Garcia-Aranda. "Tugas wasit tidak untuk dijelaskan," katanya. "Tugas wasit memastikan aturan main berjalan dengan baik."
Penjelasan berbeda datang dari Angelo Bratsis, bekas wasit FIFA selama 12 tahun. Menurut dia, 30 wasit yang ditunjuk FIFA buat memimpin 64 laga di Piala Dunia 2010 datang dari banyak negara yang mewakili konfederasi. "Apakah mereka yang terbaik di dunia?" kata Bratsis. "Komisi Wasit FIFA bilang tentu saja ya. Tapi apakah setiap wasit punya pengalaman yang sama seperti di Eropa dan Amerika Selatan yang laganya ramai?"
Lagi pula, kata dia, tak semuanya murni berprofesi sebagai wasit. Sejumlah besar wasit itu berasal dari bermacam-macam profesi. Semisal ada yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha, karyawan swasta, pengacara, guru, dan wartawan. Wasit-wasit ini diupah per pertandingan, bukan per musim. Sekali main, bayarannya sebesar Rp 6-10 juta, sedangkan wasit profesional FIFA dibayar Rp 200 juta per tahun--pemain profesional Rp 1 miliar lebih per tahunnya.
"Semua pemain terbaik di dunia bermain luar biasa, tapi mereka juga tak luput dari kesalahan," ujar Garcia-Aranda. "Begitupun kami, para wasit, juga manusia." Begitulah, bola menggelinding begitu cepat. Ada banyak hal tak terduga di lapangan.
ANDREE PRIYANTO (PELBAGAI SUMBER)