Dunga, yang sering mendapat kritikan lantaran permainan timnya yang tak terlalu cantik, mengatakan tim Brasil 1970 yang berisi para legenda seperti Pele, Rivelino dan Tostao mendapat banyak pujian lantaran televisi yang hanya menayangkan cuplikan aksi-aksi terbaik mereka.
“Pada 1970, kami tak punya televisi di rumah,” kata Dunga. “Ketika kita melihat cuplikan Piala Dunia 1970, yang kita lihat adalah bagian-bagian terbaik.
“Tak ada yang mengulang cuplikan penampilan Brasil di Piala Dunia 1966 karena saat itu timnya tak bermain bagus. Dari Piala Dunia 1958, mereka (televisi) menyangkan cuplikan aksi-aksi terbaik, dan dari Piala Dunia 1962, mereka juga hanya menyangkan cuplikan terbaik.
“Jika kita merekam tim Brasil saat ini dan hanya menayangkan aksi-aksi terbaik, maka para fans akan melihatnya sebagai tim yang spektakuler.
“Tapi, di masa sekarang, mereka (televisi) juga menayangkan momen-momen negatif sebanyak momen-momen bagus.”
Para kritikus sepakbola Brasil sering melakukan kilas balik ke masa lalu dan menuding Selecao di era modern ini terlihat kurang sentuhan artisitik jika dibandingkan dengan tim-tim yang memenangi Piala Dunia 1958, 1962 dan 1970.
Bahkan hingga saat ini sejumlah TV Brasil masih sering menyangkan cuplikan gol-gol terkenal Brasil seperti yang dicetak Pele di final Piala Dunia 1958 lawan Swedia.
“Satu hal lagi adalah tim pada 1970 punya waktu empat bulan untuk mempersiapkan diri,” kata Dunga yang menambahkan sudah menjadi sifat alami manusia untuk menganggap masa lalu selalu lebih baik.
“Kakek sya bilang kepada ayah saya bahwa di masanya semua lebih baik dan ayah saya mengatakan hal serupa kepada saya,” kata Dunga.
“Saya juga mengatakan kepada putra saya bahwa situasinya lebih baik di jaman saya dan saya yakin ana saya juga akan mengatakan hal yang sama kepada anaknya nanti.
“Pada 1958, sepakbola hanya urusan teknik. Kemudian mereka menambahnya dengan persiapan fisik, kemudian menerapkan taktik, kemudian mereka menambahnya dengan faktor tekanan dan emosi.
“Jika kita melihat lebih seksama kepada tim-tim di masa lalu, mereka juga melakukan kesalahan yang sama dengan tim-tim saat ini.”
Dunga menyatakan semua itu disebabkan sifat manusia yang tak pernah puas.
“Tekanan menjadi jauh lebih hebat. Kami harus selalu menang, tapi bahkan ketika kami sudah menang pun mereka tak senang karena kami tak menunjukan permainan indah. Jika kami bermain cantik, mereka juga tak puas karena kami tak mencetak enam atau tujuh gol.
“Jika kami mencetak enam atau tujuh gol, mereka akan bilang lawannya tidak bagus.”
REUTERS | A. RIJAL