TEMPO Interaktif, London - Keterlibatan politik dalam sepak bola tampaknya susah dicegah. Meski Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) sudah berulang kali mengingatkan bahwa intervensi dalam sepak bola dilarang keras, beberapa negara tetap mengabaikannya. Setelah Prancis dan Nigeria, kini giliran sepak bola Inggris yang terancam diselidik para politikus terkait kegagalan The Three Lions di Afrika Selatan.
Seorang anggota parlemen Inggris meminta adanya penyelidikan terkait hasil 'menyedihkan' yang diraih Inggris di Piala Dunia 2010. Inggris pergi ke Afrika Selatan dengan harapan besar tetapi mereka tersingkir di babak kedua dengan kekalahan memalukan 1-4 dari Jerman.
David Ammes, anggota parlemen dari Partai Konservtif yang meminta penyelidikan itu, menyatakan dalam situs pribadinya bahwa ia merasa ngeri dan sedih dengan penampilan Inggris. Oleh karena itu, ia mengusulkan dilakukan langkah-langkah parlementer untuk menyelidiki kegagalan Inggris.
Usulan itu mendesak parlemen Inggris untuk menyuarakan “kekecewaan besar akibat tersingkirnya Inggris secara menyedihkan dari putaran final Piala Dunia” dan menyatakan tim Inggris telah “membiarkan negara ini dan pendukung mereka jatuh.”
Ammes juga meminta penyelidikan penting harus dilakukan terutama karena beberapa pemain yang bermain di Liga Primer sebenarnya telah “digaji secara berlebihan tapi bermain di bawah performa”
Usulan Ammes ini disebut-sebut hanya salah satu dari ratusan usulan yang masuk ke parlemen Inggris. Usulan-usulan ini merupakan semacam petisi di mana anggota parlemen lain bisa menandatanganinya untuk memperlancar dilakukannya langkah parlementerian lebih lanjut. Sejauh ini, hanya seorang anggota parlemen bernama Mike Hancok dari Partai Liberal Demokrat yang telah mendukung Ammes.
Langkah-langkah intervensi politis dalam sepak bola semacam ini tampaknya akan membuat FIFA semakin cemburu. Tapi hal ini juga bisa menjadi bahan evaluasi bagi FIFA, bahwa urusan sepakbola di beberapa negara, juga merupakan urusan nasional yang membutuhkan dukungan dan uang negara.
REUTERS|ARIS