Tahun ini, ketika putaran final untuk pertama kalinya digelar di Tanah Hitam, hanya Ghana yang mampu napak tilas jejak Kamerun dan Senegal. Di perdelapan final, Ghana mengalahkan Amerika Serikat 2-1. Banyak pihak berharap Bintang Hitam--julukan ini dilontarkan presiden pertama Ghana, Kwame Nkrumah--melaju ke semifinal. Ghana ditunggu Uruguay pada Sabtu dinihari nanti di Soccer City, Johannesburg.
Inilah pertandingan pembuktian apakah "kutukan" Afrika masih berlaku. Kesialan ini memang menyakitkan. Afrika dianggap sebagai kawasan termaju ketiga, setelah Amerika Latin dan Eropa, dalam urusan bola sepak ini. Bakat-bakat hebat tak pernah berhenti mengalir, terutama dalam dua dekade terakhir. Mereka banyak bermain di klub-klub kelas satu Eropa.
Setelah generasi Roger Milla dan Abedi Pele, kini ada Samuel Eto'o. Striker Kamerun ini bermain di Inter Milan, juara Eropa 2010. Pantai Gading memiliki Didier Drogba dan Salomon Kalou di Chelsea, serta Yaya Toure (Barcelona) dan Kolo Toure (Manchester City). Juga ada pemain serba bisa Ghana, Michael Essien (Chelsea). Nigeria bahkan tak menyisakan satu tempat pun buat pemain lokal.
Sayangnya, para bintang itu tak pernah mampu membawa Afrika bersinar di final piala Dunia. Tahun ini idem dito. Dari enam tim, cuma Ghana yang lolos dari penyisihan. Empat tahun lalu di Jerman, mereka juga masuk babak kedua, tapi kalah oleh Brasil. Kini Ghana selangkah lebih maju. Seluruh Afrika pun berharap pada juara Afrika empat kali ini.
Harapan itu menyeruak tak hanya di negeri pelopor demokrasi di Afrika ini, tapi juga di seantero benua. Mendadak sontak Afrika menjelma menjadi satu negeri. Ben Owusu, pemilik Uncle's Ben Restaurant di Johannesburg, seperti dikutip VoA, mengatakan Brasil, Jerman, dan tim-tim lain harus tahu bahwa mereka akan menghadapi seluruh Afrika. "Piala itu sudah dibawa ke sini dan harus tetap berada di tanah ini."
Negeri di Afrika Barat ini memang layak menjadi tumpuan harapan semiliar penduduk Afrika. Ghana membangun timnya tidak dalam semalam. Mereka menciptakan regenerasi yang luar biasa dalam lima tahun terakhir. Hasilnya, pada 2006, untuk pertama kalinya mereka masuk putaran final Piala Dunia. Tahun lalu, generasi baru lahir setelah Ghana menjadi juara dunia U-20 di Kairo.
Ghana juga menjadi tim dengan skuad termuda di Piala Dunia 2006 dan 2010. Tim asuhan Milovan Rajevac ini memiliki rata-rata umur 24 tahun 9 bulan. Itu yang membuat tim ini sangat kuat. Jomo Sono, bekas pelatih Afrika Selatan, mengatakan Ghana hebat karena mereka bermain sebagai sebuah tim. "Ghana tak punya pemain bintang, apa saya sebut pemain TV," kata Sono.
Memang di sana ada Essien, Muntari (Inter Milan), dan sejumlah pemain yang berlaga di Eropa. Tapi posisi mereka tak seperti para bintang di negara-negara lain. Negeri penghasil cokelat terbesar di dunia ini menerapkan kolektivitas yang tinggi dan tak terlalu bergantung pada pemain top. Buktinya, ketika Essien cedera, Ghana tetap tangguh.
Jomo juga mengungkapkan kebiasaan buruk tim Afrika yang sering gonta-ganti pelatih. Pantai Gading, misalnya, menunjuk Sven-Goran Eriksson hanya dua bulan sebelum putaran final. "Mereka acap terpukau oleh pelatih asing. Padahal tak mudah memahami kultur di sini," katanya. Ghana berbeda. Pelatih Serbia itu sudah menangani Bintang Hitam sejak Agustus 2008.
Semua itu membuat harapan tertumpah pada Ghana. Sementara Korea Selatan mampu menjadi tim Asia pertama yang lolos ke semifinal ketika putaran final digelar pertama kali di Asia, kini saatnya Ghana menjadi yang pertama di Afrika. Sekaligus membuktikan bahwa "kutukan" itu tak pernah ada.
M. Taufiqurohman, Wartawan Tempo