Suasana latihan itu sangat cair dan santai. Di tengah latihan, saya lihat Kaka dan Daniel Alves saling pamer gerakan menggocek dan saling berebut bola, lalu saling mengacak rambut lawan. Tawa Kaka dan Robinho, juga pemain lain, berkali-kali terdengar bergema dalam game awal latihan itu.
Itu sama sekali di luar dugaan. Dunga, 46 tahun, kerap digambarkan sebagai sosok yang kaku. Ia tak peduli meski dibenci pers, juga suporter, asalkan tujuannya tercapai. Sore itu, di sela perbincangan Dunga dengan asistennya, saya justru melihatnya sempat beberapa kali menyunggingkan senyum melihat ulah para pemainnya yang penuh canda saat melakukan game.
Saat itu para pemain membuat formasi lingkaran. Tiga pemain yang berada di dalam lingkaran harus mencegat bola yang dioper cepat dari kaki ke kaki. Itu sebenarnya hanya game yang biasa dilakukan tim mana pun, termasuk di Indonesia. Tapi saya melihat para bintang Selecao mampu melakukannya dengan elegan. Sentuhan mereka sangat cepat, arah bola yang tak terduga, kadang dibarengi liukan atau gerakan tubuh yang mengecoh lawan. Saya melihat gaya samba diterapkan dalam game yang umum itu.
Saya jadi ingat, di bawah rezim Dunga, gaya samba itu justru dianggap sudah nyaris sirna. Tim Brasil kerap dikritik telah meninggalkan kultur asli Brasil karena lebih mengedepankan gaya bertahan yang dipadukan dengan serangan balik cepat. Banyak yang tak puas meski formula itu terbukti sukses mengantar tim tersebut menjadi juara Copa America, Olimpiade, Piala Konfederasi, dan kini lolos ke perempat final Piala Dunia.
Toh, mantan gelandang bertahan itu tak peduli atas semua kritik. "Setiap orang punya preferensi masing-masing," kata Dunga suatu ketika. "Saya lebih menyukai kemenangan."
Demi kemenangan itu, Dunga selalu mengutamakan yang terbaik bagi timnya. Ia tak ingin perhatian pemainnya terpecah. Karena itu, selama Piala Dunia ini, ia memilih menempatkan timnya di Fairway Hotel, yang terletak jauh di dalam permukiman di tengah padang golf. Tak ada peluang bagi orang luar untuk secara sembarangan masuk ke tempat ini. Soal latihan pun, baru sekali Brasil membolehkan masyarakat umum melihatnya.
Dunga juga membatasi interaksi pemain dengan media. Sebelum Dunga menjadi pelatih pada 2006, jurnalis Brasil memiliki keleluasaan untuk setiap saat melakukan wawancara eksklusif dengan pemain. Kini wawancara seperti itu jadi hal terlarang. Tim Brasil hanya menyediakan jumpa pers harian dengan dua pemain yang ditunjuk.
"Dunga telah mengubah mentalitas tim," kata Mauricio Fonseca, wartawan O Globo. Ia saya temui di antara gerombolan wartawan yang menyaksikan latihan di Saint Stithians. "Sejak ia bertugas, kami tak lagi bebas berinteraksi dengan pemain. Ini tak menyenangkan, tapi ia tampaknya tak peduli atas kejengkelan kami."
Memang begitulah Dunga. Beberapa waktu lalu, ia ditanyai soal kebijakannya yang mendadak mengubah latihan yang sebelumnya terbuka untuk pers jadi tertutup. Dengan enteng dia menjawab, "Saya ingin pemain berkonsentrasi dalam latihan. Inilah cara saya. Saya selalu dibilang kurang kreatif, setidaknya cara ini memberi Anda sesuatu yang kreatif untuk menulis."
Sore itu saya melihat kreativitas itu justru banyak diterapkan. Wartawan dari luar Brasil, terutama televise dan radio, memilih mewawancarai sejumlah jurnalis dari Brasil untuk menambah bahan. Sedangkan wartawan Brasil berusaha memanggil seorang staf pelatih meminta bocoran. Saat saya mendekat, saya kecewa, perbincangan dilakukan dalam bahasa Portugal.
Sore kian gelap di lapangan itu. Lampu penerangan lapangan mulai dinyalakan. Kaka, Robinho, Lucio, Daniel Alves, Maicon, Luis Fabiano, Juan, Julio Baptista, Michel Bastos, dan Felipe Melo dipisahkan dari pemain lain. Mereka tampaknya calon tim inti yang akan diturunkan melawan Belanda. Mereka diminta berlari mengelilingi lapangan empat kali, setelah itu diizinkan pulang 30 menit lebih awal.
Para punggawa Brasil lainnya digenjot Dunga dalam latihan umpan dan penyelesaian akhir di mulut gawang. Kali ini mereka berlatih sangat serius dan tak lagi terdengar tawa atau teriakan penuh canda.
Nurdin Saleh (Johannesburg)