TEMPO Interaktif, Jakarta - Hingga hari ini De Oranye sudah membuktikan bahwa mereka adalah contender serius bagi siapa pun sebagai tim favorit juara. Konsistensi dalam menjalankan taktik strategi dengan tingkat kesabaran dan semangat juang tinggi telah membawa mereka ke babak semifinal setelah menyingkirkan Brasil di Stadion Nelson Mandela Bay, Port Elizabeth, Jumat malam lalu.
Kepiawaian Bert van Marwijk, arsitek Belanda, betul-betul mendapat ujian dalam duel bersejarah ini. Dengan ketegaran hati dan jiwa, dia memerintahkan pasukannya tetap bermain tenang dan sabar, menjaga keseimbangan penyerangan serta pertahanan. Ia mampu membantu timnya mencari jalan keluar dari tekanan.
Pada 45 menit pertama, tim Samba seolah menegaskan kembali kepada dunia bahwa mereka adalah favorit juara di Afrika tahun ini. Anak-anak asuh Carlos Dunga itu pun sulit dikendalikan. Serangan demi serangan yang dibangun dengan kecepatan tinggi dari segala penjuru membuat Oranye harus lebih memperhatikan sektor pertahanan. Manuver pasukan tempur Brasil membuat barisan pertahanan Belanda bekerja ekstrakeras untuk membendungnya. Dapat dikatakan babak pertama adalah milik Kaka dan kawan-kawan, dan bila mereka dapat mempertahankan kondisi seperti ini pada paruh kedua, maka sulit bagi Oranye untuk mengatasi ketertinggalan.
Pada 45 menit kedua, Belanda mulai menyusun semangat baru. Mereka sadar bahwa tidak mudah untuk membalikkan keadaan, dan Marwijk seolah tahu apa yang harus diperbuat.
Dengan tekad dan semangat yang digelorakan pasukannya, ia meminta untuk semaksimal mungkin memanfaatkan ruang kosong di sisi sayap belakang lawan yang sering kosong karena bek kiri/kanan sering naik membantu penyerangan.
Mengandalkan Van Persie dan Kuyt sebagai penerima umpan di jantung pertahanan lawan, dalam satu momen Sneijder dari sayap kanan memberi umpan tajam mengarah ke tiang jauh gawang Brasil. Dalam duel ini, bola menyentuh kepala Felipe Melo dan lolos dari sergapan Julio Cesar. Skor pun berubah menjadi 1-1.
Kondisi ini membuat tim Samba makin bernafsu untuk kembali mencetak gol. Mereka meningkatkan serangan, dan serangan ini dilakukan dari segala penjuru, seolah yakin pertandingan itu tidak memerlukan extra time 2 x 15 menit. Hal ini membuat kedua belah pihak bermain lebih keras dan sesekali menjurus kasar. Emosi pemain sudah mulai muncul, sehingga wasit perlu mengeluarkan beberapa kartu kuning.
Serangan-serangan dibangun Brasil, meski lebih intens, namun tidak tertata dengan rapi, sehingga peluang yang diciptakan tidak begitu banyak. Sebaliknya, Belanda seolah menemukan jalan untuk meng-kick balik. Dengan penuh kesabaran dan perhitungan, mereka selalu berusaha membuka pertahanan lawan melalui sayap kiri dan kanan yang lebih longgar karena ditinggal untuk membantu penyerangan.
Malapetaka bagi Brasil akhirnya terjadi juga pada menit ke68 saat terjadi tendangan sudut, saat Kuyt mem-”flick” bola kepada Sneijder, yang seketika meng-heading bola ke sudut kanan gawang Julio Cesar. Kepanikan mulai melanda Brasil.
Saat waktu permainan hanya tersisa 20 menit, mereka masih harus mengatasi ketertinggalan satu gol. Mereka harus merusak ritme permainan Belanda, dan tentu saja dalam tekanan demikian, kedua tim mulai menampilkan permainan keras cenderung kasar. Puncak malapetaka bagi Brasil terjadi pada menit ke-73, saat Felipe Melo sengaja menginjak Robben dan kartu merah pun diberikan. Dalam situasi seperti ini, sulit bagi seorang Dunga untuk membantu timnya. Kondisi anak-anaknya sangat kritis dan mereka kesulitan keluar dari situasi seperti itu. Bisa jadi ini adalah pertandingan terakhir Dunga bersama Brasil.
Dan, bagi Belanda, partai ini bisa menjadi partai pembuka untuk meraih gelar yang pertama sebagai juara dunia sekaligus menjadi juara baru ketika kejuaraan dunia digelar untuk pertama kalinya di Benua Afrika.
Ferril Raymond Hattu (Pemain Nasional 1985-1992)