Persentuhan pertama dengan budaya keluarga Afrika Selatan saya dapatkan di keluarga Kemal Yassar. Ia pria berdarah Albania yang memegang dua kewarganegaraan: Turki dan Afrika Selatan. Tapi mantan pelaut itu sudah 20 tahun tinggal di Afrika Selatan dan menikah dengan Farida, warga lokal berdarah campuran antara India, Melayu, Irlandia, serta Prancis.
Kemal, yang tinggal di daerah Bosmont--permukiman yang dihuni mayoritas muslim keturunan India dan Melayu--mengundang karena keponakan perempuannya merayakan ulang tahun ke-17. "Dalam keluarga kami, ada tiga acara yang selalu diperingati, yakni ulang tahun pertama, ulang tahun ke-17, serta perkawinan," kata Kemal.
Acara ulang tahun itu dihadiri keluarga dekat mereka. Jumlahnya tak kurang dari 30 orang. "Ini belum seberapa. Bila berkumpul semua, jumlah anggota keluarga kami bisa mencapai 300 orang,” kata Kemal, yang bekerja sebagai teknisi listrik.
Saya pun melihat sebuah keluarga yang serba majemuk: ada wajah India, Arab, Melayu, dan kulit putih. Semua rukun dan saling melempar canda.
Makanan yang disajikan pada siang itu lebih banyak bergaya India. Datangnya bertahap, dan membuat perut lambat laun mengembung dengan maksimal. Perjamuan itu dimulai dengan hidangan sup ayam campur jagung. Rasanya hangat dan nikmat di tengah siang yang dingin.
Sup habis, keluarlah kue-kue.
Ada satu jenis kue yang unik dan berbeda. Namanya samoosa. Seperti risoles yang berbentuk segitiga, kue itu dilengkapi isi yang rasanya serupa martabak, tapi mengandung sensasi pedas.
Berikutnya keluar hidangan utama. Itulah roti dengan sosis bakar (braai). Ya, tak berbeda dengan hot dog yang kita kenal. Tapi saya merasa sosis di Afrika Selatan ini agak berbeda. Rasanya lebih nikmat dengan bumbu bakaran yang beragam, begitu pula tingkat pedasnya.
Saya, yang biasanya agak enggan menyantap jenis makanan ini, bisa dengan lahap memakannya tanpa berteman nasi.
Ketika hidangan kedua tandas, keluar hidangan berikutnya: kue-kue lagi. Setelah itu, diedarkan permen dan manisan khas India. Terakhir, saat perut sudah mengembung, saya pun diharuskan mencicipi kue ulang tahun yang masih disambung oleh sajian teh susu (teh tarik).
Pada perjamuan kedua, saya mengenal lebih jauh soal makanan Afrika Selatan. Irfaan Gillan, pemilik tiga butik mewah yang juga tinggal di daerah Bosmont, mengundang makan siang. Keluarganya—ia memiliki dua putra berusia sekitar 20 tahun—menyajikan makan siang yang berbeda dibandingkan dengan di rumah Kemal.
Ada terhidang chicken briyani, nasi ayam yang rasanya persis nasi kebuli khas Timur Tengah. Ada juga braai sosis dan iga kambing yang empuk. Bermacam-macam sayur terhidang mentah untuk dijadikan salad, tapi ada juga yang sudah direbus bersama ubi-ubian.
Yang istimewa, mereka juga menyajikan paps, yaitu nasi tepung maizena yang oleh penduduk Afrika Selatan kerap disantap sebagai pengganti nasi. Bentuk paps ini persis seperti bubur beras yang agak padat, tapi rasanya lebih mendekati nasi uduk karena sudah diberi bumbu. Bila bumbunya masih kurang nendang, juga disediakan saus khusus untuk mencampuri paps itu.
Seusai acara makan, saya diajak ke kebun belakang rumah. Sekadar info, rumah di Afrika Selatan umumnya memiliki tanah luas mencapai 250 meter persegi. Di samping kolam renang mungil, saya kembali dihadapkan pada menu lain kue dan puding serta teh.
Dari acara makan di dua keluarga itu, saya pun menangkap kebiasaan makan info, rumah di Afrika Selatan umumnya memiliki tanah luas mencapai 250 meter persegi. Di samping kolam renang mungil, saya kembali dihadapkan pada menu lain kue dan puding serta teh.
Dari acara makan di dua keluarga itu, saya pun menangkap kebiasaan makan yang sama: betapa takaran makan mereka cukup besar.
Perjamuan berikutnya saya alami di Nelspruit, 400 kilometer dari Johannesburg. Undangan Bobby Shabangu, warga lokal yang pernah dua tahun belajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padang Panjang, memungkinkan saya tahu lebih jauh soal masakan lokal.
Saya sarapan di rumah Bobby dan agak kaget karena hanya mendapati roti. “Buns,”Bobby menyebut nama roti itu dalam bahasa setempat. Rasanya seperti bolu, tapi bentuknya agak keras dan terasa aroma jahe saat digigit.
Bujang berusia 31 tahun itu mengajak saya memakannya sambil meminum teh, tapi hanya mendapati air panas dan gula. Saya sungkan bertanya apakah begitu kebiasaan sarapan keluarganya.
Kemudian di jalan, saat menuju lokasi safari Kruger Park, kami sempat mampir di warung sederhana berlantai tanah. Di sana kami menyantap paps berteman ramtutu. Bobby menyebutkan, ramtutu adalah salah satu makanan favorit warga setempat.
Ramtutu tak lain adalah ayam berkuah, persis seperti opor ayam di Indonesia. Rasanya pun tak jauh berbeda, tapi bagi lidah saya agak terlalu manis.
Perjamuan keempat saya cecap di kediaman Sariat Arifia, pengusaha shipping dan forwarding asal Indonesia. Ia sejak dua tahun lalu tinggal di Afrika Selatan dan menetap di Greenstone, Johannesburg.
Di kediaman Sariat ini, saya pun bisa merasakan masakan Indonesia hasil masakan Ana Silviana, istri Sariat. Ada bakso, sup daging, telur dadar, dan tentu saja sambal. Menu tambahannya juga istimewa: braai sosis dan daging kambing. Makan malam itu terasa maknyus, membuat saya sejenak terlupa rasa kangen kepada Tanah Air.
NURDIN SALEH (JOHANNESBURG)