TEMPO Interaktif, Jakarta -Permainan sepak bola memang sederhana. Sebanyak 11 orang berebut memasukkan bola ke gawang lawan. Tapi dari permainan sederhana ini, setiap bangsa menggunakan falsafah sendiri yang sesuai dengan kepribadian mereka.
Taruhlah Brasil. Apa yang terkenal dari Brasil selain sepak bola? Orang akan menyebut Karnaval Rio, kegiatan tahunan yang memikat seluruh dunia. Setiap karnaval adalah kegembiraan, permainan, dan keindahan. Begitu pula dengan filosofi sepak bola yang puluhan tahun dipegang Brasil: jogo bonito alias permainan indah. Para pemain menyerang dengan gelombang tak henti.
Karakter bangsa Inggris juga tampak dalam sepak bola mereka. Perhatikan saja saat tentara Inggris di Basrah, Irak. Mereka biasa berpatroli dengan berjalan kaki dan hanya mengenakan topi baret, bukan helm lapis baja. Sebaliknya, tentara Amerika Serikat tak hanya membutuhkan helm lapis baja, tapi juga jip Humvee atau panser Stryker dengan lapisan baja yang tebal untuk berpatroli.
Tentara Inggris ingin mendekati warga Irak sehingga berjalan kaki tanpa helm lapis baja. Mereka ingin dipandang bersikap baik. Tapi taktik ini jelas lebih berisiko dan gampang diserang dibanding tentara Amerika.
Maka, mazhab sepak bola yang dianut Inggris adalah permainan menyerang dan terbuka. Gaya kick and rush menyenangkan dipandang karena permainan berlangsung sangat cepat.
Seperti tentara Inggris di Basrah, gaya permainan ini lebih berbahaya, lebih berisiko. Permainan terbuka ini membuat lawan lebih gampang masuk melakukan serangan balik.
Gaya sepak bola lain dianut Jerman. Sepak bola Jerman dikelola dengan gaya militer: bermain pantang menyerah, disiplin, presisi, dan terorganisasi baik. Sejumlah ahli menyebut gaya sepak bola terpengaruh gaya militer. Sampai Perang Dunia II, sebuah remaja Jerman terkena wajib militer. Lebih dari seabad, kalangan militer dipandang sebagai kelas yang lebih terhormat dibanding pengusaha kaya.
Bagaimana dengan sepak bola Italia? Sumbangan "terbesar" Italia terhadap sepak bola dunia adalah pendekatan catenaccio, taktik gerendel. Taktik ini sering dikecam karena mematikan sepak bola, mematikan para pemain top, seperti Claudio Gentile mematikan Maradona pada Piala Dunia 1982. Tapi Italia tidak peduli. Kemenangan adalah segalanya.
Tidak hanya catenaccio, tapi pemain Italia juga sering melakukan diving, pura-pura jatuh agar mendapat hadiah penalti. Ingat saat Danielle de Rossi berpura-pura jatuh di kotak penalti Selandia Baru?
Taktik catenaccio, jangan heran, lahir di kampung halaman Niccolo Macchiavelli. Politikus abad ke-16 ini menyumbangkan taktik politik yang sering dikutip: lakukan segala cara agar bisa meraih kemenangan. Ini yang dilakukan sepak bola Italia.
Bagaimana dengan tim nasional Indonesia?
Kita pernah melihat, setidaknya mendengar, para pemain sepak bola Indonesia baku hantam di lapangan pertandingan. Para penonton sepak bola juga tidak begitu jauh berbeda. Fandi Ahmad, pelatih Pelita Jaya asal Singapura, bercerita kepada harian The Straits Time bahwa tidak jarang timnya mesti keluar dari stadion menggunakan panser karena dilempari batu.
Perkelahian dan lemparan batu ini menunjukkan kuatnya budaya kekerasan di Indonesia. Kalah dalam pemilihan bupati atau wali kota misalnya, kantor Komisi Pemilihan Umum diserang. Untuk memindahkan pedagang kaki lima, misalnya, dengan digusur dan tak ragu-ragu menggunakan kekerasan.
Pemain Indonesia juga tidak ragu untuk memprotes wasit. Sering sampai wasit didorong dan bahkan kadang dipukul. Hal ini menunjukkan satu hal: orang Indonesia tidak percaya kepada pihak berwenang. Mereka selalu curiga pihak berwenang curang dan seterusnya.
Mungkin, sepak bola Indonesia baru bersih dari kekerasan jika televisi juga tidak didominasi berita kekerasan massa. Entah kapan.
Nur Khoiri, Wartawan Tempo