TEMPO Interaktif, Jakarta - Dosa terbesar Dunga bukanlah gagal membawa Piala Dunia ke Brasil. Sebuah tim besar, berpengalaman, dan memiliki pemain bintang bisa saja kalah oleh sebab apa pun. Kekalahan--seperti juga kemenangan--adalah hal yang alami. Bukan dosa.
Dosa terbesar Dunga adalah memilih jalan yang salah untuk kalah. Dunga meninggalkan akar sepak bola Brasil dan mencoba gaya Eropa. Sepak bola indah (jogo bonito), yang mengandalkan skill individu, digantikan oleh permainan cepat dan bola panjang. Bagi Dunga, gaya itu tak penting, karena kemenangan hanya bisa diraih dengan bermain efisien serta taktis.
Dunga salah. Dia kalah. Dan untuk memahami kenapa dia salah, ada dua penggambaran yang tepat:
1. Brasil seperti pendekar pencak silat yang dipaksa bermain tinju.
Seandainya saja Dunga pernah belajar silat, dia mungkin lebih paham bahwa gaya tetaplah penting. Bukan untuk menghibur penonton, tapi untuk mendapatkan kemenangan. Orang bermain silat itu seperti menari, berlenggak-lenggok. Tampak buang waktu dan kebanyakan gaya. Tapi, bagi orang Indonesia yang mungil, jurus dengan kembangan (dekorasi) adalah senjata mematikan untuk musuh yang lebih besar.
Bayangkan seandainya seorang pendekar silat dipaksa bermain tinju hanya karena gurunya baru menonton Mike Tyson bertarung. "Tyson itu enggak kebanyakan gaya. Jebret-jebret, enggak sampai satu ronde lawan tepar. Efisien," kata sang pelatih. Saat duel bebas terjadi, sang pesilat langsung KO karena lawannya adalah petinju kelas berat berbadan tinggi besar.
Permainan Eropa yang cepat dan menerapkan bola panjang sepintas lalu terlihat efektif. Tapi itu sebenarnya hanya efektif untuk pemain Eropa. Di Jerman, mereka tahu, gaya bermain lewat sayap dan bola lambung memang cocok dengan kelebihan (postur tinggi) dan kelemahan (tidak jago menggiring) yang mereka miliki. Selain itu, efisiensi dalam bidang apa pun sudah mendarah daging dalam kehidupan di Jerman. Mereka tak kesulitan menerjemahkannya dalam sepak bola.
Untuk meredam permainan Eropa itulah jogo bonito, yang mengandalkan skill individu, tercipta. Gaya itu adalah cara untuk mengakali postur tubuh mereka yang tak setinggi orang Eropa. Layaknya silat.
Tapi bukankah para pemain Brasil juga sudah terbiasa dengan gaya Eropa karena bermain di klub-klub benua itu? Benar, tapi kebanyakan mereka bermain di klub negara-negara Eropa Selatan, seperti Spanyol dan Italia, yang permainan taktis dan efisiennya tak sekental Jerman atau Inggris. Lagi pula, di sana mereka menjadi pelengkap. Mesin besarnya tetap dijalankan oleh pemain Eropa sendiri.
2. Brasil itu seperti Barbie yang dilarang berdandan.
Brasil itu persis Barbie dalam bayangan para gadis: cantik dan berprestasi. Selama ini, kedua hal itu saling melengkapi. Lalu datang ayah tiri yang main perintah: "Enggak usah bersolek, kemayu. Belajar saja." Barbie mengurung diri di dalam kamar, sedih, tertekan, dan prestasinya pun menurun drastis.
Bagi sebagian gadis, terlalu banyak bersolek memang bisa memecah konsentrasi dan menggerus prestasi. Tapi, jika ada gadis yang selalu berdandan tapi prestasinya oke-oke saja, apa perlu dia dilarang bersolek?
Inti dari perumpamaan itu adalah kenapa harus dilarang bermain cantik jika dengan permainan cantik itu mereka bisa berprestasi? Lima kali juara dunia dengan jogo bonito, apa itu bukan bukti kuat? Terakhir mereka merebutnya pada 2002. Perkembangan sepak bola dalam delapan tahun terakhir juga tak terlalu drastis. Jadi apa inti larangan itu?
Jogo bonito bukan diciptakan oleh Pele, yang ingin gaya dan sok pamer skill individu. Permainan itu tercipta dari jalanan kota-kota Brasil yang berdebu. Permainan yang mengandalkan kutak-kutik itu sudah menjadi karakter, mengalir dalam darah. Larangan Dunga bermain indah pada akhirnya memutus kenyamanan itu.
Seperti menyuruh punkers pemberontak memakai tuksedo, dasi kupu-kupu, dan rambut klimis. Enggak betah, pasti!
Qaris Tajudin, Wartawan Tempo