TEMPO Interaktif, Jakarta -Riswanto, 25 tahun, dan Triprasetyo Budi, 24 tahun, adalah suporter cabutan asal Indonesia. Meski tim jagonya sama-sama sudah tersingkir, mereka tetap berusaha menonton pertandingan Piala Dunia langsung di Stadion Green Point, Cape Town.
Tapi, karena keterbatasan uang dan mahalnya harga tiket, keduanya menggunakan cara berbeda untuk menonton. Mereka menunggu penonton yang keluar sebelum pertandingan habis dan meminta tiket mereka untuk digunakan masuk. Cara itu lumayan berhasil. "Kami sudah dua kali masuk stadion di babak penyisihan lalu," kata Riswanto, yang berasal dari Brebes.
Selasa malam itu, saya bersua mereka di sebuah toilet di daerah Waterfront. Keduanya tengah bicara bahasa jawa.
Keduanya tidak datang khusus untuk menonton Piala Dunia. Mereka bekerja pada kapal nelayan asal Taiwan, Yumi Yu. Sudah sebulan ini kapal mereka sandar di pelabuhan untuk melakukan perbaikan.
Sambil menunggu waktu perbaikan--yang biasanya bisa mencapai empat bulan--mereka menyempatkan diri mengikuti Piala Dunia. Menonton pertandingan juga dianggap cara ampuh untuk melupakan kegundahan hati mereka.
Budi mengaku ia dan 16 pekerja Indonesia lain di perusahaan Taiwan itu sudah tak betah bekerja di kapal tersebut. Ia sudah meminta izin untuk pulang meski kontraknya yang tiga tahun baru dijalani setahun. Ia merasa pekerjaan di kapal pemancing ikan itu sangat berat--kadang harus berada di laut selama 19 bulan--dan tak sepadan dengan gaji yang hanya US$ 150 sebulan.
Yang membuat lebih dongkol, pekerja dari Vietnam dan Cina dibayar lebih tinggi. Pelaut asal Vietnam digaji hingga US$ 250, sedangkan pekerja dari Cina hingga US$ 400. "Padahal kerjaan kami sama," katanya.
Pemuda asal Pekalongan itu merasa telah dijual dan dimanfaatkan sebagai tenaga kerja murah oleh penyalur tenaga kerja di Jakarta. Ia juga tak bisa berkutik karena paspornya ditahan perusahaan kapal itu.
"Saya sudah mengajukan permintaan pada bos agar bisa pulang, tapi masih disuruh mikir-mikir dulu karena saya masih terikat kontrak," katanya.
Nurdin Saleh (Cape Town)