Sebuah gol memang biasanya tercipta dari sebuah tendangan yang memiliki kekuatan dan akurasi. Bagaimana cara seorang pemain mendekati bola sebelum menendangnya bisa menentukan kedua parameter itu.
Terburu-buru menendang, misalnya, menghasilkan bola yang melayang lemah dan tidak akurat.
Memperlambat lari bisa memperbaiki tingkat akurasi bola yang ditendangnya, namun tetap tidak berhasil membuat bola itu melayang sederas jika si pemain berlari normal menuju bola itu. Memperlambat lari juga berarti memperbesar peluang kepada pemain bertahan untuk menghentikannya dan menutup peluang terjadinya gol.
Tim peneliti di University of Aarhus, Denmark, pernah melakukan penelitian soal ini setahun lalu. Mereka mengkaji hubungan antara kecepatan berlari pemain sebelum menendang bola dan kecepatan serta tingkat akurasi bola yang ditendangnya.
Mereka menemukan, para pemain di lapangan umumnya memiliki “rumus” sendiri-sendiri untuk menentukan kecepatan lari yang optimal untuk menghasilkan tendangan yang bertenaga dan tepat sasaran. Studi dilakukan melibatkan pemain berusia 20-30 tahun yang bermain di liga profesional Denmark.
Dalam studi itu, para pemain diminta melakukan serangkaian tendangan ke arah gawang. Rangkaian yang pertama adalah untuk mencari tahu kecepatan bola. Para pemain diminta berlari normal dan menendang bola sekuat-kuatnya. Para pemain itu lalu diminta mengulanginya dengan berbagai kecepatan berlari, dari berdiri diam hingga 150 persen lebih cepat dari kecepatan lari normalnya.
Rangkaian studi yang kedua ditujukan untuk tingkat akurasi. Di bagian ini para pemain diminta menendang bola mengenai target yang dipasang sedikit di atas permukaan tanah. Ini adalah simulasi sebuah tendangan penalti dengan ancang-ancang yang berkecukupan agar bola yang ditendang tak bisa disanggah penjaga gawang.
Untuk tendangan-tendangan itu, baik kecepatan langkah kaki si pemain maupun derasnya bola, semuanya dicatat. Hasilnya, semua pemain memiliki cara dan kecepatan berlari idealnya masing-masing untuk menendang dan menghasilkan kecepatan bola yang maksimal.
Itu artinya, ketika mereka bergerak lebih cepat atau lebih lambat daripada normal, tenaga tendangan mereka melemah. Kecepatan normal yang dianggap ideal oleh masing-maising pemain itu terekam berkisar 52-77 persen dari kecepatan sprint mereka.
Ketika pemain itu meningkatkan langkah kakinya 50 persen lebih cepat dari skema ideal, kecepatan bola atau tenaga tendangan mereka terukur drop hingga 30 persen. Pelan-pelan atau memperlambat langkah mendekati bola juga terbukti ikut memperlambat deras bola sampai 25 persen.
Satu temuan saat itu yang juga menarik adalah bahwa ancang-ancang dengan berlari hampir dengan kecepatan maksimal akan percuma. Tendangan yang dihasilkan atau kecepatan bolanya akan lebih lemah daripada tendangan yang dilakukan tanpa ancang-ancang sama sekali alias berdiri di tempat.
Ketika target digunakan—dalam rangkaian percobaan kedua— seluruh kecepatan puncak bola hasil tendangan turun hampir 15 persen. Perlu ditegaskan, dalam rangkaian percobaan yang pertama, para pemain hanya diminta “asal” menendang ke arah gawang.
Lalu bagaimana hasil studi ini terbaca dalam pertandingan-pertandingan sepak bola? Di sinilah para penelitinya mengangkat sebuah skenario menarik. Mereka menunjuk adanya situasi-situasi ketika seorang pemain bertahan memburu pemain menyerang yang sedang menggiring bola.
Pemain bertahan itu harus membuat keputusan antara melakukan tackling dan risiko gagal atau terus berlari mengganggu tapi berisiko si pemain menyerang mampu melepaskan tendangannya. Dengan hasil studinya itu, tim peneliti di Denmark memberikan opsi yang lebih baik untuk para pemain bertahan, yakni terus belari memaksa pemain lawan berlari dengan kecepatan tertingginya.
Berani dijamin, tendangan yang akan dilepaskan si pemain akan melemah, pun dengan tingkat akurasinya.
Studi ini juga berguna untuk para penyerang, yakni bagaimana memaksimalkan tenaga dan akurasi ketika harus berlari dan dalam tekanan pemain bertahan lawan. Tidak setiap saat mereka memiliki skema yang ideal semacam yang dimiliki Van Bronckhorst saat melawan Uruguay.
WURAGIL| SCIENCEOFSOCCERONLINE