Di Belanda memang bejibun pemain sepak bola keturunan Indonesia. Mereka bermain di level junior klub-klub terkenal di Negeri Kincir Angin. Pemuda-pemuda yang bertalenta ini antara lain Raphael Tuankotta (21 tahun, Volendam junior), Justin Tahaparry (21, FC Eindhoven), Estefan Pattinasarani (17 tahun, AZ Alkmaar), Marvin Wagimin (17 tahun, VVV Venlo), Raymon Sosroredjo (17, Vitesse junior), Donovan Partosubroto (18, Ajax junior), dan Irfan Bachdim (21, HFC Haarlem).
Tak sedikit pula yang bermain di luar Belanda. Misalnya pemain tengah Radja Nainggolan, 21 tahun, yang kini berlaga untuk Cagliari di liga Italia. Ayahnya, Marianus, adalah pria berdarah Batak dan ibunya, Lizi Bogaerd, warga negara Belgia. Radja saat ini tercatat sebagai anggota tim nasional Belgia U-21. Ada lagi Philip Adam Cave, 18 tahun, pemain junior Newcastle United, Inggris, yang memiliki ibu berdarah Indonesia.
Gagasan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid segera menaturalisasi mereka, sejauh ini masih mengundang pro-kontra. Banyak orang memandangnya sebagai proyek jalan pintas buat menutupi kegagalan PSSI mengembangkan sepak bola nasional. Tapi ada pula yang mendukungnya lantaran inilah resep yang jitu untuk mendongkrak prestasi sepak bola. Lagi pula, negara yang sepak bolanya sudah maju, seperti Jerman dan Portugal, pun melakukan hal sama.
Ide Nurdin sebetulnya tak terlalu jelek. Kontroversi muncul karena ia terlalu menggampangkan masalah. Undang-undang No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan, orang asing memang bisa diberi kewarganegaraan Indonesia demi kepentingan nasional. Syaratnya, ia harus menanggalkan status warga negara lain karena kita tidak menganut kewarganegaraan ganda. Masalahnya, sungguh gegabah jika pemerintah langsung menaturalisasi dan memasukkan mereka dalam tim nasional.
Sebelum langkah itu diambil, puluhan pemain yang berdarah Indonesia itu harus betah hidup di sini dan berkiprah di liga negeri ini. Ini bukan persoalan sepele karena liga kita masih amburadul, baik pengelolaan maupun mutu pertandingan. Bahkan untuk musim kompetisi tahun ini, misalnya, hingga sekarang jadwalnya belum ditentukan.
Kasus Irfan Bachdim juga semakin menunjukkan baik PSSI maupun klub Liga Super belum siap. Penyerang dengan tinggi badan 178 sentimeter itu telah datang ke Persib Bandung dan Persija Pusat untuk dites. Tapi tak satu pun dari klub papan atas ini mau mengontrak. Mungkin mereka berpikiran masih lebih murah menggunakan pemain Afrika atau Amerika Latin.
Itulah kendala yang harus dipecahkan. Pemerintah, misalnya, perlu memikirkan subsidi bagi pemain berdarah Indonesia yang bersedia berlaga di sini. Sebab, mereka akan diproyeksikan menjadi tulang punggung tim nasional.
Pilihan lain yang lebih realistis, tentu saja, membenahi segera Liga Super dan utama di negeri ini. Klub-klub yang berlaga di kompetisi harus mandiri secara keuangan dan mampu membayar pemain dengan gaji tinggi. Sungguh bodoh jika olahraga paling populer di Indonesia ini tak bisa mengeruk banyak duit dari penjualan tiket penonton, hak siar pertandingan, dan sponsor. Klub-klub jangan ragu pula mendatangkan pemain bintang dan pelatih hebat bila dari hitung-hitungan bisnis memungkinkan.
Jika Van Bronckhorst berlibur ke Maluku setelah Piala Dunia, bujuklah agar ia mau bermain atau melatih di sini. Cara ini pasti akan menggeret pemain-pemain keturunan Indonesia lainnya yang lebih junior untuk mengikuti jejaknya. Mereka akan senang hati jika digaji memadai. Toh, di klub-klub Eropa, pemain sepak bola seperti Irfan atau Donovan Partosubroto selalu kesulitan menjadi pemain inti.
Setelah cukup lama bermain di liga negeri ini, barulah mereka ditawari menjadi warga negara Indonesia. Langkah ini lebih elegan ketimbang langsung meminta mereka membela Merah Putih.
GENDUR SUDARSONO