TEMPO.CO, Jakarta - Berada di Rio de Janeiro ataupun di kota-kota lain di Brasil saat tim Samba akan bertanding, selain melihat banyak orang ramai-ramai memakai baju kuning-hijau, berarti saatnya mendengarkan suara trompet, kadang petasan, yang berbunyi nyaring.
Semula bunyi-bunyi itu terdengar menyenangkan, tapi lama-lama terasa seperti menghadirkan sebuah kepedihan. Saya berada di tengah-tengah kegembiraan orang banyak tanpa bisa menikmati keriangan itu.
Bunyi-bunyi ini pula yang terdengar saat saya datang ke Korea Selatan untuk meliput Piala Dunia 2002. Di sana, tak hanya bunyi trompet yang memekakkan telinga, tapi juga teriakan yang menyemangati timnas tuan rumah yang terdengar di mana-mana. “Pilsung Korea” dan “tae han min guk” hampir tiap hari masuk ke telinga.
Televisi di sana memutar berulang-ulang pertandingan yang dilakoni Korea Selatan yang selalu menang. Mereka hanya kalah dalam babak semifinal ketika bertanding melawan Jerman, yang waktu itu masih diperkuat oleh Michael Ballack.
Pasukan Korea—begitu mereka menyebutnya tanpa kata “selatan”—memang luar biasa. Ditangani Guus Hiddink, para pemain bintangnya, seperti Ahn Jung-hwan dan Hong Myung-bo—yang kini menjadi manajer timnas Korea di Brasil—nyelonong hingga ke babak semifinal. Satu-satunya prestasi tertinggi dan tampaknya akan sulit disaingi oleh negara Asia lain.
Dulu di Seoul, Suwon, dan kota-kota lain di Negeri Ginseng. Sekarang di Rio de Janeiro dan sebelas tempat lain di Brasil. Suara trompet terus berbunyi saat tim tuan rumah tampil di lapangan. Bukannya ikut gembira, saya malah tambah mellow.
Saya membayangkan seandainya trompet-trompet itu nyaring terdengar di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota lain di Indonesia, ketika tim Garuda tampil bermain di lapangan hijau. Tentu trompet itu bisa nyaring terdengar tanpa perlu Indonesia menjadi tuan rumah seperti Korea dan Brasil saat ini.
Sebab, menurut orang-orang di sini, keriangan para penduduk negeri ini selalu terjadi setiap empat tahun sekali, ketika jagoan mereka bermain dalam Piala Dunia.
Saat itu mereka menghias rumah dengan bendera dan pernak-pernik kebrasilan. Mirip dengan acara tujuh belasan di Indonesia. Mereka juga berkumpul bersama untuk menikmati setiap pertandingan yang diikuti tim nasionalnya.
Rakyat Brasil hanya perlu sekali dalam empat tahun untuk bersukacita. Saat yang tepat bagi mereka untuk meledakkan petasan, beramai-ramai memakai baju hijau-kuning, dan meniup trompet.
Sejak negeri ini merdeka, Piala Dunia sudah digelar 17 kali. Meniup trompet senyaring itu di Jakarta dan di kota lain berkali-kali pula hanya ada dalam bayangan. Tak ada yang tahu kapan itu terjadi.
Mengingat itu, bunyi trompet yang kini riang ditiup di Brasil pun terdengar pilu.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)
.