TEMPO.CO, Jakarta - Setiap kali bepergian ke Rio de Janeiro dari Niteroi atau sebaliknya, saya selalu sangat menikmatinya. Penyebabnya adalah kendaraan apa saja, mau tak mau, harus melewati jembatan—lebih umum dikenal dengan sebutan Rio-Niteroi, yang menghubungkan dua kota itu.
Dari dalam bus atau taksi, selain lautan luas, terlihat beragam kapal, termasuk kapal militer milik Angkatan Laut Brasil, yang hilir-mudik. Burung-burung yang beterbangan mengincar ikan di laut menjadi pemandangan yang mengasyikkan.
Jembatan ini memang seperti “Suramadu” yang menghubungkan Surabaya dan Bangkalan di Madura. Namun, dibandingkan dengan jembatan yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun lalu, jembatan ini banyak memiliki kelebihan.
Pertama, jembatan ini lebih dulu ada. Jembatan ini dibuka secara resmi pada 4 Maret 1974 setelah mulai dibangun pada 1968. Bahkan, konsep untuk menghubungkan dua kota ini sudah dimulai pada 1875. Gara-gara dipisahkan oleh Teluk Guanabara, perjalanan darat dua kota ini harus dilakukan dengan cara memutar, yang kalau dihitung-hitung bisa menghabiskan jarak hingga 100 kilometer.
Kedua, jembatan ini juga lebih panjang, yakni mencapai 13,2 kilometer. Jika dalam keadaan lancar-lancar saja, jarak sepanjang itu bisa dicapai taksi dalam waktu 8 menit. Bahkan, dengan kendaraan supercepat, dalam keadaan jalan lowong, bisa lebih lekas lagi.
Tak pelak jembatan ini menjadi jalur utama bagi penduduk Niteroi yang umumnya bekerja di Rio de Janeiro. Pun ketika akan menonton pertandingan Piala Dunia di Maracana. Setiap kendaraan yang melewati jembatan ini cukup membayar tiket sebesar 4,8 real atau sekitar Rp 25 ribu setiap kali masuk ke Niteroi. Sedangkan untuk menuju Rio, setiap kendaraan boleh melaju dengan senang hati alias gratis.
Namun, bukan berarti jembatan ini segalanya. Setiap waktu bisa saja kemacetan terjadi di sana. Pada jam-jam sibuk pagi dan sore atau bila terjadi kecelakaan lalu lintas di ruas jembatan itu rangkaian panjang kemacetan bisa terjadi. Waktu tempuh pun menjadi kadang tak tentu. Saya pernah menggigil kedinginan—AC di bus di sini memang kondisinya bagus—karena harus tertahan hampir setengah jam.
Namun, bila hal itu yang terjadi, bukan berarti harus berakhir dengan makian. Penduduk di sana punya transportasi alternatif, yakni feri. Cukup dengan membayar tiket sebesar 5 real atau sekitar Rp 25 ribu, mereka pun bisa tetap pergi ke kantor atau tempat tujuan lainnya. Waktu tempuh tentu lebih cepat karena tidak ada kemacetan di sana.
Jembatan dan feri inilah yang pernah juga mengantarkan jagoan-jagoan sepak bola Brasil yang berasal dari Niteroi. Mereka adalah Leonardo, yang pernah bermain di AC Milan yang kemudian menjadi Presiden Paris Saint-Germain, atau Alex, yang pernah bermain di Chelsea, PSG, kemudian menyusul ke AC Milan. Nama lainnya adalah Edmundo, pemain sepak bola yang terkenal dengan ulahnya yang temperamental. Julukannya adalah Animal.
Burung-burung yang melayang di udara, air laut yang tenang, dan kapal-kapal yang hilir-mudik ikut mewarnai perjalanan mereka menuju kehebatan sepak bola Brasil.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)