TEMPO.CO, Rio de Janeiro - Saat saya naik bus kota, secara tak sengaja tas ransel yang saya gendong mengenai penumpang lain. Ini gara-gara sopir bus yang tiba-tiba tancap gas ketika saya belum sepenuhnya menjaga keseimbangan tubuh. Sopir bus di sini memang doyan ngebut dan tancap gas sesuka hatinya.
Beruntung, saya bisa mengendalikan diri dan langsung menuju tempat duduk yang kosong. Sebelumnya, saya sempat meminta maaf dengan kata “sorry” kepada penumpang yang apes kena ransel saya itu. Mudah-mudahan dia mengerti maksud saya.
Namun, tak lama kemudian, dari arah belakang tempat saya duduk, terdengar suara pria. "Oi...," ujarnya.
Waduh, pertanda buruk. Saya langsung berpikir, jangan-jangan ada masalah. Pasti gara-gara tas ransel tadi. Seketika pula saya menengok ke arah suara itu datang. Paling tidak saya memenuhi panggilannya lebih dulu, setelah itu barulah meminta maaf sekali lagi.
Ketika saya menengok, pria tinggi besar yang saya duga pemilik suara itu malah tengah asyik berbicara dengan telepon selulernya. Penasaran, saya cari lagi asal suara itu. Saya masih celingukan, tetap tak ada pria lain, kecuali si bapak itu. Penumpang lainnya terlihat santai dan tak acuh. Bahkan orang yang terkena ransel saya.
Ternyata saya baru sadar, suara "oi" itu memang datang dari si bapak yang sedang asyik berbicara di telepon. “Oi” di Brasil berarti "ya". Anak-anak yang menjawab panggilan orang tuanya cukup mengatakan "oi". Begitu pun sebaliknya.
Sedangkan kata yang dipakai orang di sana untuk memprotes—biasanya mereka berkata dengan lantang—adalah “ho…,” dengan nada akhir yang lebih panjang. Umum terjadi ketika seseorang menyerobot antrean.
"Oi" biasa juga dipakai ketika menjawab panggilan di telepon selain kata “halo”. Biasanya dilakukan untuk menjawab telepon dari orang yang sudah dikenal dengan baik. Persis seperti yang dilakukan si bapak itu, yang bisa jadi tengah menjawab panggilan dari teman atau kerabatnya. “Oi” juga berarti sebuah tanda kedekatan seseorang.
Seperti kata "oke", "oi" merupakan kata yang paling banyak diucapkan orang di Brasil. Saking populernya kata tersebut dan karena biasa dipakai dalam percakapan di telepon, kata “oi” juga dipakai untuk nama operator telepon. Kotak-kotak telepon umum pun penuh dengan kata "oi".
Pengalaman di bus kota itu benar-benar membantu pada hari-hari berikutnya. Saat menonton bersama ketika Brasil bermain, kata “oi” termasuk yang paling sering saya ucapkan. “Kamu juga mendukung Selecao?” tanya salah seorang dari mereka—tentu setelah diterjemahkan oleh teman Brasil saya. Pertanyaan itu muncul karena saya memakai baju kuning, khas warna Selecao. Saya pun menjawab lantang, “Oi…oi.”
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)