TEMPO.CO, Jakarta - Siapa bilang orang Brasil suka minum kopi? Selama hampir tiga minggu berada di sini, tak sekali pun saya menemui mereka mereguk minuman hitam itu. Padahal kopi di sini asyik. Rasanya mantap. Tapi mereka lebih suka minum bir.
Bukan hanya saat menonton sepak bola di televisi, tapi juga di lapangan kampung-kampung, selalu harus ada bir. Pun begitu saat mereka sekadar kongko-kongko. Tak cukup satu, tapi berbotol-botol. Pria atau wanita menyukai minuman ini.
Manuel, seorang pemilik bar, pernah bercerita kepada saya. Ketika pertandingan final Liga Champions lalu, sepanjang pertandingan yang berlangsung selama 120 menit--karena melalui perpanjangan waktu 2 kali 15 menit--tak disangka-sangka dia berhasil menjual sebanyak 200 krat. Kalau tiap krat berisi 10 botol saja, itu artinya sebanyak 2.000 bir ukuran besar sudah habis terjual. Manuel tak menjelaskan berapa banyak pengunjung barnya sore itu.
Ternyata, Manuel memang tak perlu menjelaskannya. Ketika ikut menonton pertandingan Piala Dunia lewat televisi bersama mereka, saya baru benar-benar percaya pada ucapan Manuel.
Cara mereka minum bir memang luar biasa. Saat mengambil satu botol, tiga gelas langsung menyambut botol itu. Dikucurkan satu per satu hingga penuh. Mereka pun menyeruput dengan santai dan tak tergesa-gesa.
Nah, ketika belum lagi bir dalam gelas itu habis, seseorang dengan botol yang baru diambil dari kulkas mengisinya pada gelas teman-temannya. Jadi gelas-gelas mereka memang tidak pernah kosong barang sejenak pun. Akan selalu ada bir dari siapa saja yang datang mengisinya.
Mereka tak pernah menghitung berapa botol bir yang sudah diambil. Si penjual pun santai-santai saja. Dia hanya menaruh kotak penyimpanan bir itu di dekat mereka yang asyik meminum bir tersebut. Satu per satu botol kosong ditaruh di sana. Mereka terus berbicara tentang pertandingan.
Setelah laga usai, mereka tak langsung pulang, tapi mengobrol ngalor-ngidul mengulas strategi permainan yang baru saja terjadi. Tak cukup satu jam, tapi bisa lebih dari itu. Yang untung si penjual bir. Botol-botol kosong terus masuk ke tempatnya.
Saat semuanya berakhir, barulah si penjual menghitung berapa krat yang sudah habis dikeluarkan. Orang-orang yang ikut minum bir itulah yang kemudian membayar semua jumlah botol yang sudah mereka minum. “Caranya, kami membagi jumlah uang yang harus dibayarkan sesuai dengan jumlah orang yang ada,” kata salah seorang dari mereka.
Patungan, tepatnya. Saya sendiri tidak pernah ikut patungan karena tidak ikut minum. Itu yang kadang-kadang membuat mereka kebingungan. Alhasil, kalau bukan air putih, minuman yang aman buat saya adalah minuman bersoda. Dengan meniru cara memegang botol seperti yang mereka lakukan, apalagi dengan memakai kaus kuning, saya pun mendadak menjadi seperti mereka.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)