TEMPO.CO - Pada menit ke-73, saat timnya tertinggal dua gol dan tim Kolombia bertambah sulit ditembus, Gervinho menerima bola di sisi kiri, tak jauh dari gawang lawan. Dia lalu bergerak menusuk ke dalam, melewati seorang pemain lawan dengan sekali kelokan, sebelum melaju ke kotak penalti. Seorang lagi bisa ia kecoh. Lalu, dari jarak 10 meter, dia menendang bola ke sudut kanan gawang yang dijaga David Ospina Ramirez. Tembakan yang mengagetkan.
Gol Gervinho itu memang tak menyelamatkan Pantai Gading dari kekalahan dalam pertandingan keduanya pada babak penyisihan Grup C, Jumat lalu. Tapi siapa pun yang menonton bakal sulit melewatkan apa yang sebenarnya berlangsung di depan mata: sebuah peragaan determinasi, teknik, kepercayaan diri, dan... keberuntungan, yang menghasilkan gol individual menakjubkan—salah satu yang terbaik sejauh ini.
Momen serupa, yang merupakan elemen sepak bola indah, boleh dibilang jarang terjadi. Aksi ala Gervinho lebih sulit muncul setelah sepak bola semakin mengutamakan kecepatan dan meminggirkan keelokan permainan, setelah “ideologi” kecepatan dan kekuatan menjadi elemen utama formula permainan. Demi efisiensi, kata dia. Tapi formula ini tak jarang dibuat semata berdasarkan rasa takut akan, atau sekurang-kurangnya keinginan menghindari, kekalahan.
Dalam formula itu, pemain banyak berlari, tapi sedikit sekali mengambil risiko, atau bahkan nihil. Keberanian tak dipromosikan, ia dianggap tak menguntungkan. Semangat kreatif untuk beraksi, yang bisa mengilhami, menjadi langka. Wajar jika jumlah gol rata-rata terus menurun, paling tidak sejak 1954. Untuk mengurangi pertandingan yang berakhir seri, pada 1994, FIFA memberlakukan poin tambahan bagi setiap kemenangan. Tapi tampaknya sia-sia juga.
Dari kalangan yang memuja sepak bola indah, kemudian bertebaran komentar sinis. Misalnya yang dilontarkan Carlos Caszely, mantan pemain nasional Cile yang dijuluki Raja Meter Persegi: “Jenis permainan ini adalah taktik kelelawar. Kesebelas pemain bergelantungan di tiang gawang.” Atau keluhan Nikolai Starostin, mantan pemain Rusia dan pendiri klub Spartak Moskow: “Sekarang semua pemain terlihat serupa. Kalau mereka berganti kaus, tak ada yang mengenali. Mereka bermain persis sama.”
Syukurlah, Piala Dunia kali ini kelihatannya menjanjikan keadaan yang lebih baik, setidaknya dibanding empat tahun lalu. Barulah, kurang-lebih sepekan berlangsung, jumlah gol rata-rata per pertandingan mendekati 2,9. Angka tersebut mengindikasikan turnamen tahun ini berprospek menjadi Piala Dunia dengan gol terbanyak sejak 1958, ketika Piala Dunia diselenggarakan di Swedia. Waktu itu jumlah rata-rata golnya 3,6.
Faktor yang menyokong perkiraan itu terutama adalah penampilan tim-tim non-unggulan atau kesebelasan yang bukan merupakan langganan Piala Dunia. Betapa menyenangkannya menyaksikan pertandingan Kolombia melawan Pantai Gading, atau Honduras versus Ekuador. Mereka berani. Mereka agresif. Dan hasil akhirnya bukan skor “kacamata”.
Sangat boleh jadi masih akan ada pertarungan sejenis pada hari-hari mendatang. Syukur-syukur muncul lagi letupan aksi ala Gervinho yang tak hanya menyelamatkan suatu tim dari kekalahan, melainkan juga menghasilkan kemenangan. Atau bahkan juara.
Dengan gairah itu, tanpa Spanyol, apalagi Italia, dan entah tim elite mana lagi nanti yang gugur, Piala Dunia tak akan kehilangan apa pun.
PURWANTO SETIADI (WARTAWAN TEMPO)