TEMPO.CO, Jakarta - Di sebuah pesta kecil, akhirnya saya mendapat kesempatan melihat tarian samba yang sebenar-benarnya. Seorang pria berkulit hitam dan berkepala plontos bin licin asyik sendiri mengikuti irama samba yang dimainkan kelompok musik yang kebanyakan personelnya juga berkulit darko alias gelap.
Sebenarnya saya sudah sering melihat tarian ini, entah di YouTube, televisi, video, entah, ehem, melihat ibu-ibu muda yang katanya menari tarian asal Brasil itu untuk memelihara kebugaran tubuh. Tapi, dibandingkan dengan pengalaman saya kali ini, semuanya seolah-olah tidak ada apa-apanya.
Ibarat kursus bahasa Inggris, apa yang saya lihat siang itu seperti mendengarkan pengajar berbicara dalam bahasa ibunya sendiri alias native speaker. Benar-benar dari tangan pertama.
Si hitam yang bernama Jo menari dengan riang. Kadang dengan senyum yang mengembang, tapi sesekali matanya tertutup. Tapi bukan itu yang menarik. Gerak lincah kedua kakinya saat mengikuti musik yang sedang dimainkan sungguh memikat hati.
Gerakannya sama sekali tidak bisa disebut ruwet, sederhana saja. Kalau tidak kakinya yang menyilang, ya, paling bergeser ke kiri dan ke kanan. Tapi semuanya dilakukan dengan irama yang menyenangkan.
Saat musik memakai tempo lambat, Jo pun tidak terlalu sering menggerakkan kakinya. Sebaliknya, saat gitar dikocok dan perkusi bertalu-talu, kaki-kaki hitamnya bergerak cepat tapi tidak ribet. Gerakannya pun tidak pernah sama dari waktu ke waktu selama musik itu mengalun.
”Gerakkan kakimu dengan hatimu,” katanya ketika saya mencoba mengikuti gerakannya. Ah, susah. Saya pun berhenti dan hanya bisa menyaksikan Jo kembali menari.
Jo mungkin bukan penari samba yang hebat. Dia juga bukan guru menari yang baik, karena membuat saya tiba-tiba menyerah. Tapi Jo sedikit memberi gambaran tentang samba dan sepak bola Brasil yang termasyhur.
Menari samba, menurut Jo, adalah menggerakkan kaki sesuai dengan irama hati. Itulah mungkin yang dilakukan para pemain sepak bola di negeri tersebut.
Ronaldinho Gaucho, pemain Brasil yang pernah bermain di Barcelona dan AC Milan, terkenal dengan keindahan gerakannya dalam menggiring bola. Bahkan kaki lawan dijadikan teman untuk memantulkan bola, yang kemudian kembali ke kakinya. Gerak kakinya tak beda dengan kaki Jo, yang terus menari siang itu. Tidak pernah terduga, tidak pernah pula sama, tapi tetap berirama.
Karena Jo sepertinya ogah mengajari, saya pun berbisik kepada teman Brasil saya. ”Kursus samba yang di sana kapan ada kelas singkat?” Seharian belajar, sepertinya saya bisa mendekati kehebatan Jo.
Namun jawaban teman itu tidak menyenangkan. ”Selama Piala Dunia, mereka libur,” ujarnya. Hati saya telanjur kecewa. Saya pun tak bisa menggerakkan kaki seperti yang diperintahkan Jo.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)
Baca juga:
Ghana Dicurigai Terlibat Skandal Pengaturan Skor
Tuah Rambut Kriwil David Luiz
Villa Tutup Karier di Timnas Spanyol dengan Gol
Ronaldo Akui Portugal Tim yang Biasa-biasa Saja
Belanda Bertengger di Posisi Puncak Grup B