TEMPO.CO - Ketika lulus sekolah dasar pada 1999, Keisuke Honda menulis esai tentang masa depannya. Bocah 13 tahun itu menulis bahwa suatu ketika ia akan bermain di Serie A, liga sepak bola paling bergengsi di Italia.
Dalam esai berjudul “Impianku untuk Masa Depan” itu, Honda menuangkan keinginannya menjadi pemain sepak bola terbaik dunia. Ia sadar harus latihan lebih keras daripada orang lain untuk menjadi yang terbaik. “Aku akan menjadi terkenal di Piala Dunia dan akan direkrut klub Serie A,” demikian antara lain isi esai Honda seperti dilansir laman Bein Sports.
"Ramalan" tentang nasibnya itu menjadi kenyataan 15 tahun kemudian ketika ia menandatangani kontrak selama 3,5 tahun dengan salah satu klub raksasa Italia, AC Milan, pada awal tahun ini.
Honda adalah satu dari sekian banyak pemain yang lahir dari kompetisi J-League. Dengan bakat dan keterampilan yang diasah sejak usia delapan tahun, gelandang serang yang kerap dipasang sebagai penyerang itu bersinar di liga profesional. Tampil 90 kali dan mencetak 11 gol dalam dua musim, Honda menjadi incaran klub-klub besar Eropa. Setelah dua musim di J-League, ia hijrah ke VVV-Venlo (Belanda) selama dua musim, lalu pindah ke CSKA Moskow, dan akhirnya meraih impian masa kecilnya di AC Milan.
J-League merupakan jawaban atas kemerosotan prestasi sepak bola Jepang. Setelah Jepang meraih perunggu pada Olimpiade 1968 di Meksiko, performa Liga Sepak Bola Jepang (JSL) yang diikuti klub-klub amatir terus merosot. Penontonnya berkurang dan kualitas lapangan menurun. Akibatnya, kualitas tim nasional pun ikut melempem. Kala itu, pelajar dikerahkan untuk menonton pertandingan agar stadion tak lengang.
Untuk meningkatkan kualitas kompetisi, menarik minat penonton, dan melahirkan tim nasional yang hebat, Asosiasi Sepak Bola Jepang kemudian membentuk kompetisi profesional J-League pada 1992. Musim pertama digulirkan pada 1993 dan diikuti 10 klub, 8 klub dari divisi utama JSL, 1 klub dari divisi dua, dan 1 klub baru Shimizu S-Pulse.
Kompetisi tersebut berhasil menyedot minat penonton hingga lebih dari 19 ribu orang per pertandingan. Kualitas tim nasional pun ikut terdongkrak. Hanya butuh waktu lima tahun bagi Samurai Biru—julukan tim Jepang—untuk menembus Piala Dunia 1998. Sejak itu, Jepang tak pernah absen dalam kejuaraan empat tahunan itu. Di tingkat regional, sejak J-League bergulir, Jepang tiga kali menjuarai Piala Asia, yaitu pada 2000, 2004, dan 2011.
Dengan pengelolaan yang baik, J-League telah melahirkan pemain-pemain yang merambah liga-liga besar dunia. Pada 1990-2000 muncul pemain berbakat, seperti Hidetoshi Nakata, yang bermain untuk sejumlah klub besar Italia, antara lain AS Roma, Parma, dan Fiorentina, serta Shinji Ono, yang pernah bermain untuk Feyenoord (Belanda) dan VfL Bochum (Jerman).
Kini tak kurang dari 28 pemain Jepang tersebar di klub-klub besar Eropa, di antaranya Shinji Kagawa (Manchester United/Inggris), Makoto Hasebe (Eintracht Frankfurt/Jerman), Yuto Nagatomo (Inter Milan/Italia), Shinji Okazaki (Mainz 05/Jerman), dan kiper Eiji Kawashima (Standard Liege/Belgia). Mereka inilah yang menjadi tulang punggung Jepang dalam Piala Dunia 2014. Meski Jepang gagal lolos ke babak selanjutnya, para pemainnya menunjukkan bahwa mereka tak kalah kelas dari pemain papan atas dunia.
SAPTO YUNUS (WARTAWAN TEMPO)