TEMPO.CO - Ho Fatto Piangere il Brasile—Aku Membuat Brasil Menangis. Itu merupakan judul buku soal pembelaan Paolo Rossi setelah insiden Totonero 80. Rossi, yang bersama Italia saat Espana 1982, memang membuat Brasil yang sangat difavoritkan itu menangis. Hat-trick Rossi menghentikan Brasil pada perempat final. Luar biasa.
Rossi lalu membikin dua gol hebat pada semifinal, yang meredam Polandia dan membawa Gli Azzurri ke partai puncak. Saat final, ketika melawan Jerman (Barat), golnya membuat Italia juara. Rossi jadi top scorer dan pemain terbaik. Dia, yang sempat ditepikan dua tahun sebelum menjadi pahlawan di Spanyol, pun menangis. Air mata bahagia.
Itu barangkali satu dari sederet nukilan drama-drama lahir-batin yang banyak terbentang pada Piala Dunia. Rossi, kini menjadi jurnalis olahraga dan menjadi pundit di Juventus Channel, kemarin boleh jadi menangis lagi: meratapi kegagalan Italia yang kandas dari fase grup. Menjadi tragis karena, antara lain, mereka menyerah dari “kuda hitam” Kosta Rika dan takluk oleh Uruguay yang diwarnai “insiden Suarez” yang memalukan itu.
Tapi inilah Piala Dunia, pentas yang sudah dan selalu melahirkan drama yang bisa mengguncang siapa saja. Jika ada yang menangis, itu bukan berarti mengurangi kadar “kelelakiannya”.
Saya bisa merasakan betapa terpukulnya Yaya dan Kala Toure, dua bersaudara di Pantai Gading yang kehilangan adik mereka, Ibrahim Toure, hanya dua jam setelah mereka diempaskan Kolombia 2-1. Ada Bosnia-Herzegovina, pendatang baru yang menjanjikan, dan Iran yang gagah, namun harus kalah tipis oleh Argentina.
Ironis, tragis. Well, apakah Anda masih punya air mata untuk menangisi kegagalan Spanyol, teririsnya Inggris, atau terkaparnya Italia? Satu nama besar lagi, Portugal, boleh jadi juga terjungkal. Ketika Cristiano Ronaldo masih sibuk dengan model rambutnya, skuad Paulo Bento terselamatkan oleh gol injury time Silvestre Varela dalam laga versus Amerika Serikat yang berakhir 2-2 itu.
Sepak bola, memang, terus menebar debar. Juga di Brasil 2014 ketika air mata terkuras di mana-mana. Ini tak hanya berbicara soal ketidakmungkinan yang kerap mencuat, soal prediksi yang kocar-kacir, tapi sudah berbicara soal keajaiban. Dan mayoritas dari drama itu muncul saat menit-menit rawan gol.
Terus terang saya masih punya air mata yang masih disimpan untuk Belanda—paling tidak hingga partai final saat Belanda kembali menjadi runner-up. Hmmm… Tapi sederet drama yang muncul hingga kemarin, yang menyodorkan cerita bertajuk "Tears of World Cup" ini, menjelaskan bahwa sang pemenang adalah sang petarung di garis akhir.
Saya berharap Ronaldo melakukan dan merasakan itu dalam laga versus Ghana dengan mengabaikan apa pun yang terjadi dalam duel Jerman versus Ghana. Jika kemudian Portugal kandas, meninggalkan Brasil sebelum perhelatan usai, Ronaldo sudah optimal. Meski ada air mata di situ.
Ini mungkin yang tidak bisa dirasakan David Villa. Ia absen dalam dua laga Spanyol serta menjadi starter versus Australia, yang kemudian membikin gol ciamik. Tapi kemudian ia ditarik Del Bosque keluar pada menit ke-57 dalam laga penghabisan bersama La Furia Roja.
Villa menangis di bench, dan ini cerita air mata lain. Sesuatu yang berbeda dengan air mata heroik Neymar Jr. dalam count down to kickoff versus Meksiko. Atau air mata Faryd Mondragon yang tampil lima menit saja tapi menjadikan kiper Kolombia keturunan Libanon ini menorehkan sejarah: pemain tertua, usia 43 tahun 9 hari, yang pernah beredar di Piala Dunia. Di tribun, istri dan anak-anaknya pun menangis
Berikutnya giliran siapa? Dan bukankah fase knockout sudah di depan mata? Akankah Brasil?
HARDIMEN KOTO (Pemerhati sepak bola)