TEMPO.CO, Jakarta - “Piala Dunia sekarang enggak jelas. Masak Uruguay bisa dikalahkan Kosta Rika.” Itu komentar seorang rekan yang termasuk fasih jika bicara soal bola. Saya jadi teringat ketika tim penulis buku sepak bola Gebyar Bintang Muda, Piala Dunia 2014, yang diterbitkan Tempo secara digital, berkumpul untuk membuat prediksi tim juara.
Diskusi panjang, sedikit ngotot, ketika masing-masing penulis memberi argumen tentang mana-mana tim yang favorit maju ke putaran kedua dan seterusnya sampai final. Brasil tentu menjadi favorit dan—maaf—Kosta Rika tidak masuk hitungan sama sekali. Alasannya, apalagi kalau bukan karena tim Amerika Tengah ini berada di grup neraka bersama Italia, Inggris, dan Uruguay.
Prediksi di atas kertas memang bisa dan biasa meleset. Nyatanya, Kosta Rika melenggang ke putaran kedua dengan menghajar juara Amerika Latin, Uruguay, dan juara Piala Dunia 2006, Italia. Dalam pertandingan terakhir babak penyisihan, mereka bermain seri melawan Inggris, yang bersama Italia harus angkat kaki lebih awal.
Kosta Rika memang layak dipandang sebelah mata. Jejak tim dari negara mungil—luasnya hanya 51 ribu kilometer persegi, tidak sampai separuh Jawa—dan berpenduduk 4,8 juta orang ini dalam Piala Dunia hanya terlihat ketika lolos ke babak 16 besar pada 1990.
Setelah itu, La Sele—julukan Kosta Rika—langsung tersingkir di babak awal dalam Piala Dunia 2002 dan 2006. Itu sebabnya ketika turnamen akan digelar, dalam bursa taruhan mereka hanya diunggulkan +5.000 untuk menjadi juara grup. Beda jauh dengan saat akan menghadapi Inggris di babak penyisihan terakhir, posisinya terkerek -700 untuk menjadi juara grup.
Tim yang menempati peringkat ke-28 FIFA ini juga tidak mempunyai bintang. Pemain yang bisa dibilang agak moncer mungkin Joel Campbell. Penyerang berusia 22 tahun yang dikontrak Arsenal ini sedang dipinjamkan ke Olympiakos Yunani. Ada juga Bryan Ruiz, penyerang Fulham yang sedang dipinjamkan ke PSV.
Dengan pemain yang bisa dibilang termasuk kelas middle, kesuksesan Kosta Rika bisa dikatakan terjadi berkat sang arsitek, Jorge Luis Pinto. Kunci sukses Pinto adalah dia diberi kebebasan untuk mengembangkan tim.
Pelatih asal Kolombia itu membangun Los Ticos sejak 2011. Sebagai pengagum Italia, sang profesor ini merombak timnas Kosta Rika menjadi mirip tim Azurri. Permainan mereka jadi tidak khas Amerika lagi dan banyak bertahan.
Kemenangan atas Italia dan Uruguay juga tak lepas dari taktik ini: pertahanan ketat dan mengandalkan serangan balik cepat. Meski begitu, penampilan mereka lumayan menarik karena berfungsinya pemain sayap. Selain itu, mereka juga memiliki fisik yang tangguh. Sebagai sarjana dalam pelatihan fisik, Pinto sangat ahli dalam membangun tim yang kuat.
Konon, ketangguhan para pemain Kosta Rika ini bisa diraih berkat latihan foot-volley. Ini adalah permainan gabungan antara sepak bola dan bola voli--yang ngetop di Amerika Latin. Dalam sebuah video yang diunggah oleh situs Independen, terlihat 13 pemain sedang berlatih sepak-voli ini.
Mereka membentuk lingkaran dan seperti bermain voli, tetapi menggunakan kaki dan sundulan kepala. Seorang pemain sesekali melakukan tendangan balik.
Foot-volley ini langsung mengingatkan kita pada sepak raga, permainan tradisional masyarakat Melayu. Lima sampai sepuluh orang membentuk lingkaran dan berbagi bola rotan dengan tendangan kaki atau sundulan kepala. Permainan ini lalu berkembang menjadi sepak takraw yang jadi pertandingan wajib dalam SEA Games.
Mungkin ini bisa menjadi inspirasi bagi pelatih tim nasional U-19, Indra Syafri, dalam membentuk fisik serta keterampilan pemain muda kita.
YUDONO YANUAR (Wartawan TEMPO)