TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Sietje Moush. Ia hanya seorang penjaga sekolah. Ia juga petugas kebersihan di sebuah sekolah menengah di kota Rotterdam, Belanda. Setiap pagi, pria keturunan Maroko itu mesti membuka pintu sekolah, membersihkan ruang-ruang kelas, dan menurunkan bangku yang masih teronggok di atas meja-meja belajar siswa. Siang hingga sore hari, ia mesti menjaga kebersihan toilet dan mengawasi setiap siswa yang lalu lalang di pintu gerbang sekolah.
Tak ada yang berubah dari rutinitas pria 40 tahun itu, sampai seorang siswa 14 tahun mengusik perhatiannya. Remaja itu, Robin Van Persie, hampir setiap hari diusir oleh gurunya dari ruang kelas. Ia dikenal sebagai siswa kurang ajar. Bukan cuma membantah perintah guru, Van Persie kerap mengumpat sang guru dengan kata-kata kotor. Tak urung, ia sering disetrap di depan toilet selama beberapa jam. Moush menyaksikan peristiwa itu hampir setiap hari.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang penjaga sekolah menghadapi anak bengal ini? Van Persie kepada penulis biografinya, Andy Lloyd Williams, seperti dikutip The Sunday Times bercerita, ia mengingat betul bagaimana Moush kemudian mendatanginya dan melontarkan pertanyaan yang kemudian menohoknya: “Sampai kapan engkau akan menjadi sampah seperti ini?” Sampah? Van Persie tercenung mendengar ucapan kurang ajar” itu. Ia sama sekali tak marah.
Pertanyaan inilah yang kemudian mengubah seluruh jalan hidup Van Persie. Ia membuang seluruh perilaku buruknya, juga kehidupan gelap jalanan, setelah tertampar ucapan Moush yang menyebut dia telah membuang masa depannya tersebut. Lewat seorang penjaga sekolah,
bukan oleh orang tuanya—pasangan pematung dan desainer perhiasan— atau gurunya, pemain kelahiran 6 Agustus 1983 itu justru telah mendapat motivasi dan pelajaran hidup berharga.
Andy Lloyd Williams mencatat keduanya kemudian bersahabat. Sejak meniti karier profesional dari klub Fayenoord, lalu menjadi bintang di Arsenal, dan sekarang menjadi salah satu striker produktif di Manchester United, Van Persie tak pernah absen meminta nasihatnya. Pada Moush pula, kapten timnas Belanda ini kerap bercerita tentang momen-momen hebatnya di lapangan hijau. Moush bahkan didapuk menjadi salah seorang manajernya hingga kini.
Cerita Moush ini menunjukkan salah satu sisi human kehidupan bintang sepak bola yang belakangan mendapat julukan “The Flying Dutchman” setelah menciptakan gol indah melawan Spanyol tersebut. Di balik mencorongnya seorang bintang sepak bola dunia, kita sering menemukan orang-orang yang telah mengubah sejarah mereka. Para pemberi inspirasi di masa lalu itu bisa datang dari mana saja, tak terkecuali dari orang-orang yang tak terduga, yang datang dari kalangan kebanyakan. Moush salah satunya.
Ketika Diego Maradona mengangkat trofi Piala Dunia 1986 sepulang dari Meksiko, misalnya, tiba-tiba ia berseru, “Jimenez, mana Jimenez? Piala ini untukmu!” Orang yang tak tahu sejarah masa lalu Maradona bertanya-tanya siapa orang istimewa itu? Rupanya, Jimenez adalah seorang tukang daging di kawasan Villa Fiorito, Buenos Aires, Argentina--kampung kumuh kelahiran Maradona.
Maradona kecil ternyata pernah tersinggung pada ucapan Jimenez yang dengan nyinyir mengatakan keluarganya tak mau keluar dari tempurung kemiskinan. Ia saat itu bertekad menghajar tukang daging itu suatu saat kelak. Maka, tatkala menerima trofi Piala Dunia, Maradona kembali teringat Jimenez. Orang-orang pun mengira pemain sepak bola terbaik sepanjang masa itu akan menerjangnya. Alih-alih marah, Maradona justru berterima kasih. Ia mengatakan, berkat ucapan sengak Jimenez itu ia terlecut menjadi pesepakbola dunia.
Moush dan Jimenez merupakan contoh orang-orang biasa yang telah mengubah kehidupan para pemain biasa menjadi para pencipta keajaiban di lapangan sepak bola.
Yos Rizal Suriaji (Wartawan Tempo)