TEMPO.CO, Jakarta - Menyaksikan Uruguay bertanding melawan Kolombia kemarin, saya yakin benar Uruguay menderita penyakit yang sebut sajalah sindrom Suarez-Sentris.
Pelatih Oscar Tabarez, 67 tahun, pasti sudah membaca gejala tak baik ini. Namun Tabarez agaknya tak punya resep jitu mengatasinya. Jadilah Uruguay sangat-sangat bergantung pada penyerang tengah klub Liverpool, Inggris, itu.
Uruguay tanpa Luis Suarez bukan hanya bagaikan sayur tanpa garam, tapi juga seperti anak ayam kehilangan induk. Suarez, yang kini dihukum tak boleh tampil dalam sembilan pertandingan internasional oleh FIFA lantaran menggigit pundak pemain belakang Italia, Giorgio Chiellini, dalam babak penyisihan grup, merupakan nyawa Uruguay.
Prestasi Uruguay dalam babak penyisihan Grup D menunjukkan betapa bergantungnya tim itu pada Suarez. Dalam pertandingan pembuka melawan Kosta Rika, tanpa Suarez yang baru menjalani operasi lutut, Uruguay kalah 1-3. Namun begitu Suarez turun bertanding melawan Inggris, dia langsung mencetak dua gol dan menyalakan semangat timnya untuk menundukkan tim itu. Ketika Uruguay mengalahkan Italia 1-0, Suarez bermain seperti dinamo yang menggerakkan mesin permainan Uruguay.
Itu sebabnya Uruguay seperti kehilangan tenaga pada babak 16 besar ketika melawan Kolombia tanpa kehadiran Suarez. Masuknya penyerang Diego Forlan dan pasangan Suarez, Edinson Cavani, tak memberikan banyak pengaruh.
Barangkali sindrom Suarez-Sentris semakin tahun semakin parah. Buktinya? Sepanjang sejarah sepak bola Uruguay, tim itu lebih banyak menang ketimbang kalah saat melawan Kolombia. Selama ini keduanya sudah bermain 14 kali dan Uruguay menang 8 kali, Kolombia menang 4 kali, sisanya seri.
Pemusatan kekuatan tim pada diri seorang bintang bukan hanya terjadi pada Suarez. Kesebelasan nasional Indonesia juga pernah mengalami keadaan ini. Ketika itu, gelandang elegan Ronny Pattinasarani menjadi pujaan penonton sepak bola kita. Dia bukan hanya jenderal di lapangan tengah, tapi juga pengatur serangan serta inspirator setiap serangan.
Dengan kharismanya yang besar sebagai kapten kesebelasan, Ronny menjadi pusat kekuatan tim dan bahkan pusat ketergantungan pemain lain. PSSI tanpa Ronny akan sangat lemah. Padahal, pada era 1980-an saat itu, usia Ronny sudah menginjak kepala tiga. Akibatnya, begitu stamina Ronny, yang terkenal sebagai pecandu rokok berat, jauh menurun, performa satu tim ikut-ikutan turun.
Di Brasil 2014, saya melihat gejala yang sama menghinggapi Argentina. Tim Tango itu terlalu bergantung pada seorang Lionel Messi. Pasang-surut serangan Argentina bergantung pada Messi, cepat-lambat permainan ditentukan Messi. Anak muda kesayangan klub Barcelona yang juga kapten tim itu merupakan segala-galanya. Messi... Messi... dan Messi.
Sepak bola merupakan permainan tim. Kerja sama merupakan kata kunci, terutama sepak bola pada zaman modern ini. Argentina sebenarnya tak perlu bergantung benar pada Messi. Masih ada Di Maria, Kun Aguero, juga Gonzalo Higuain. Bila semua terpusat pada Messi, bintang-bintang lainnya akan meredup. Kontribusi mereka bagi tim tak akan maksimal. Pelatih Alejandro Sabella perlu memikirkan terpusatnya kekuatan pada satu bintang ini bila timnya ingin beranjak lebih jauh dari babak 16 besar.
Sebuah tim sepak bola jelas memerlukan bintang, tapi tidak menggantungkan segalanya pada sang bintang. Tim Brasil dulu punya Pele, tapi kesuksesan Brasil merebut gelar juara dunia tidak hanya karena Pele. Totalitas kerja sebuah tim lebih menentukan ketimbang kerja solo sang bintang.
Uruguay keliru bergantung pada Suarez. Akankah Argentina mengulangi kegagalan negeri jirannya itu?
TORIQ HADAD (@thhadad)