TEMPO.CO - Di sebuah klub dansa di Havana, ibu kota Kuba, saya mendengar “teori” itu untuk pertama kalinya: Tuhan hadir di dalam sepak bola. Yang melontarkan keyakinan ini bukan teolog, melainkan muchacho dan muchacha—slang Spanyol untuk pemuda dan pemudi—yang tengah berdansa tango dengan diiringi musik Latin yang menggelegak.
Perbincangan di Old Havana empat bulan menjelang Piala Dunia 2002 itu betul-betul menerbitkan minat saya: di jantung negeri yang mengklaim diri sebagai pilar terakhir komunisme di bumi, anak-anak mudanya berdebat keras tentang Tuhan dan sepak bola. Belakangan saya tahu bahwa pendapat itu bersumber pada kebencian terhadap rezim Fidel Castro. Dan, tak ada urusan dengan religiositas apa pun.
Leones del Caribe, Singa Karibia—julukan tim nasional Kuba—pernah berjaya sebagai tim nasional pertama di kawasan Karibia yang menembus Piala Dunia. Waktu itu tahun 1938. Mereka mencapai perempat final. Mereka belum pernah kembali ke turnamen sepak bola terakbar sejagat itu hingga 2014, tapi sepak bola di negara itu tetap hidup.
Alejandro Batista, mahasiswa Universidad de La Habana (Universitas Havana), dan aktivis bawah tanah prodemokrasi, yang banyak membantu liputan Tempo di Kuba, mati-matian meyakinkan saya: “Tuhan tak berpihak kepada Leones del Caribe, selama El Comandante (sebutan Fidel Ramos) masih berkuasa,” ujarnya. Saya menyahut, “Mengapa menyeret-nyeret Tuhan dalam urusan sepak bola?”
“Nada, sama sekali tidak,” ujarnya. “Anda ini hidup di mana, sih? Semua orang menyeret Tuhan dalam sepak bola, dari kompetisi kampung hingga Piala Dunia.” Saya buru-buru setuju agar Alejandro menghentikan “khotbah”-nya. Tapi, saat menulis kolom ini, saya kok merasa kata-kata anak muda asal Provinsi Sancti Spritus itu banyak benarnya.
Tatkala gol kontroversial Maradona melibas Inggris dalam Piala Dunia 1986 di Mexico City, lahir istilah “gol tangan Tuhan”. Divine intervention—campur tangan ilahiah—seolah diperlukan untuk meneguhkan kesahihannya. Efeknya bukan main. Di Kota Rosario, Argentina, Iglesia Maradoniana, sebuah gereja, didirikan pada 1998 lengkap dengan 10 Perintah— terkait dengan sepak bola dan Maradona.
Pekan lalu, setelah gol kapten tim nasional Argentina, Lionel Messi, mengirim Argentina menjadi juara grup, Maradona “memutuskan”: tangan Tuhanlah yang bekerja, menghalau tim Iran. Ketuhanan di Piala Dunia 2014 kian tak keruan—setidaknya bagi awam sepak bola macam saya—saat Luiz Suarez, jagoan Uruguay yang kini dilarang bermain empat bulan oleh FIFA, dinaikkan ke barisan Kerubim dan Serafim (para malaikat agung) oleh para pendukungnya. Si tukang gigit ini, astaga, diibaratkan Mulut, Tangan, dan Kaki Tuhan.
Nama Tuhan dipujikan dalam gol-gol kemenangan. Dan, dipanggil dalam amarah kekalahan. Orang Prancis gemar sekali menjeritkan mon Dieu (Tuhanku) disusul, merde (tahi) bila Les Bleus bermain loyo. Kala gol berhasil dicetak, nada syukur ganti diuar-uar: que Dieu vous bennise, betapa Tuhan memberkatimu!
Argentina dan Brasil telah mencatatkan diri masuk perdelapan final. Alhasil, gereja dan katedral di kedua negeri itu tiba-tiba disesaki para pendoa, agnostik, bahkan ateis. Di Brasil, mereka mendaraskan intensi agar Tuhan menyertai anak-anak Selecao.
Di Argentina, amplop-amplop sembahyang dibakar di depan arca Bunda Maria. Sebagian penduduk bahkan percaya, Tuhan berpihak kepada La Albiceleste karena Paus Francis berasal dari negeri itu. Ibu-ibu Argentina dikenal sebagai barisan pendoa fanatik skuad Putih dan Biru Langit.
Dalam adu penalti melawan Jerman di Piala Dunia 2006, Argentina tumbang. Tangis tumpah-ruah di Buenos Aires. Tapi yang lama dikenang adalah doa ratapan para ibu di kapela kecil di lereng Aconcagua: O, Senor, mi Dios, porche tu has abandonado Argentina. Ya Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan Argentina.
HERMIEN Y. KLEDEN (Wartawan Tempo)