TEMPO.CO, Rio de Jainero - Alhamdulillah. Akhirnya saya sampai juga di bulan Ramadan. Namun, berbeda dengan yang puasa-puasa sebelumnya, kali ini saya harus menjalankan ibadah shaum di negeri orang, yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Banyak persoalan, tentu saja.
Pertama adalah soal penentuan dimulainya bulan puasa. Kalau di Indonesia, enak. Tinggal mengikuti hasil sidang penentuan hari pertama. Di sini? Jangankan menunggu sidang isbat, soal kapan waktu magrib saja harus cari-cari di Internet. Tak ada yang mengumandangkan azan.
Soal kapan menentukan awal puasa, akhirnya saya sependapat dengan rekan jurnalis sekampung yang kebetulan sedang berada di Rio de Janeiro. Menurut dia, Jumat lalu dia sempat mencari tahu kapan Ramadan tiba, tapi dia memutuskan untuk ikut memulai Ramadan seperti di Jakarta, yakni Ahad lalu.
Sahur pertama pun dilangsungkan dengan seadanya. Makanan yang sempat dibawa dari negeri sendiri sudah telanjur habis. Walhasil, membeli penganan dari padaria atau toko roti pada malam harinya adalah yang pertama kali saya lakukan.
Satu hal yang menjadi favorit saya adalah roti dari singkong yang berisi daging ayam. Apesnya, roti yang saya inginkan ternyata sudah habis. Akhirnya, beberapa kue terpaksa saya borong. Setelah itu, bismillah dan berniat.
Satu hal yang membuat semangat adalah, dari jadwal imsakiah yang ada, ternyata waktu magrib di sini tiba pada pukul 5 sore lewat sedikit. Saat ini di Rio memang tengah musim dingin, kata orang di sini, jadi waktu nongol matahari lebih pendek.
Namun belakangan saya ragu saat waktu magrib, yang disebutkan dalam salah satu situs itu, telah tiba, ternyata suasana masih terang-benderang. Akhirnya, saya putuskan untuk mengikuti aplikasi yang pernah saya unduh di Android. Rada masuk akal. Ketika tiba, matahari pun telah tenggelam.
Namun, untuk sampai pada waktu yang dinantikan itu, berbagai godaan muncul. Apalagi kalau bukan wanita-wanita di sini yang hilir-mudik dengan pakaian yang minim. Belum lagi, orang yang makan dan minum seenaknya. Bukan salah mereka tentu saja.
Saat tiba beduk magrib, ibadah puasa hari pertama pun diakhiri dengan sukses setelah menenggak secangkir teh melati--yang masih tersisa. Mantap sekali rasanya. Teman Brasil pun memasakkan nasi dan lauk untuk saya berbuka. Alhamdulillah.
Setelah tandas semuanya, perut pun kembali terisi. Namun tetap saja terasa ada yang kurang. Tak ada kolak biji salak atau makanan seperti risoles dengan sambal kacang yang selalu fenomenal saat bulan puasa.
Ah, jajanan khas Ramadan memang bikin kangen.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)