TEMPO.CO - Stadion Utama Senayan, Jakarta, 26 Februari 1976. Suaeb Rizal, gelandang tim nasional Indonesia, mengambil ancang-ancang sebagai penendang ketujuh adu penalti. Sayang, tendangannya melenceng ke kanan gawang. Indonesia pun gagal lolos ke Olimpiade Montreal, Kanada. Para ofisial dan pemain Korea Utara, yang sepanjang 120 menit tak berhasil mencetak gol ke gawang Indonesia, berlari-lari kegirangan dan berpelukan di tengah lapangan.
Di tribun, 120 ribu pendukung tim nasional Indonesia membisu, menyesali kegagalan timnas, yang sebenarnya berpeluang besar menang ketika Anjas Asmara, sebagai penendang kelima, mendekati titik putih. Jika bola tendangan bintang lapangan itu masuk gawang, skor menjadi 4-3 dan Indonesia lolos ke Montreal. Sayang, bola mengarah ke pelukan penjaga gawang Korea Utara.
Bayangkan, ada sekitar 120 ribu orang di dalam stadion. Namun, setelah para pemain dan ofisial tim Korea Utara selesai meluapkan kegembiraan mereka, suasana hening. Jika ada satu gelas saja jatuh, mungkin suaranya akan terdengar di seluruh stadion yang "cuma" berkapasitas 100 ribu orang itu.
Meski timnas kita kalah, tak ada caci-maki, apalagi teriakan "Suap!"-seperti yang terdengar dari tribun penonton selama bertahun-tahun setelah itu. Tak ada kerusuhan sekecil apa pun. Sebagian besar penonton meninggalkan bangku stadion sambil menundukkan kepala, tanpa suara. Saya yakin semua penonton merasakan kepedihan yang sama dengan yang dirasakan bintang-bintang yang diidolakan saat itu: Iswadi Idris, Waskito, Risdianto….
Mengapa? Sebab, sepanjang turnamen, bintang-bintang timnas Indonesia bermain baik, atraktif, dan penuh semangat. Lawan di final itu pun bukan tim sembarangan. Dengan pelatih Park Doo-ik, pencetak gol ke gawang Italia pada Piala Dunia 1966, Korea Utara disegani di Asia dan difavoritkan lolos tanpa kesulitan ke olimpiade.
Hingga kini, sebagai salah satu saksi mata di stadion saat itu, saya belum pernah lagi merasakan suasana seperti 38 tahun lalu tersebut. Berpuluh kali saya menyaksikan langsung timnas Indonesia bertanding di stadion, berpuluh kali pula saya kecewa terhadap permainan timnas, apalagi terhadap hasil yang diraih.
Dari cara bermain dan semangat bertanding, belum ada tim yang menyamai "kehebatan" Iswadi dan kawan-kawan pada 1976 itu. Lebih penting lagi, belum ada pemain yang memiliki bakat sebesar para bintang di tim asuhan pelatih Wiel Coerver itu. Maka, ditambah kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang kerap kacau, harapan menyaksikan timnas berlaga di tingkat dunia, apalagi Piala Dunia, semakin tenggelam dalam mimpi.
Karena itu, seperti jutaan pecandu sepak bola di Tanah Air, saya cuma bisa punya tim favorit dari benua lain di Piala Dunia, termasuk yang sedang berlangsung saat ini. Kriteria saya sederhana: negara favorit saya adalah yang memiliki bintang. Sepak bola tanpa bintang itu nonsens.
Baru kali ini putaran final Piala Dunia diikuti oleh semua negara bekas juara dunia, juara bertahan, juara Eropa, juara Amerika Latin, juara Afrika, juara Amerika Utara dan Tengah, serta juara Asia. Para juara tersebut memiliki bintang masing-masing. Data itu tentu menjanjikan tingginya kualitas turnamen empat tahunan ini. Namun, ketatnya persaingan menyebabkan rontoknya para juara itu sebelum Piala Dunia 2014 memasuki perempat final. Beberapa bintang pun tinggal jadi penonton.
Sebagian orang menyukai kejutan dan berharap tim yang tidak diunggulkan terus melaju menyingkirkan tim favorit. Bagi saya, orang-orang itu bukanlah penggemar sepak bola sejati dan mungkin cuma suka sensasi. Sebab, tim favorit pasti punya bintang. Permainan sepak bola itu menghibur dan terus ditonton karena adanya bintang-pemain yang memiliki bakat, keterampilan, dan inteligensi di atas rata-rata.
Jadi, bagi para penonton yang hanya mencari kejutan, bolehlah saya serukan: menyingkirlah dari depan layar televisi. Tidur sajalah pula mereka yang cuma mementingkan hasil. Sepak bola adalah permainan, dan permainan indah dan atraktiflah yang layak ditonton.
Keindahan sepak bola hanya muncul jika ada bintang. Maka semoga Messi, Di Maria, Neymar, dan Oscar bermain pada partai final di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, 14 Juli nanti, dan tim yang tampil lebih atraktiflah yang menjadi pemenang.
UU SUHARDI (Kurator Bahasa Tempo)