TEMPO.CO, Sao Paolo - Menonton Selecao--julukan timnas Brasil--bermain tak ubahnya menyaksikan sinetron yang berurai duka. Saya tidak ingat lagi judul-judulnya. Namun, dalam setiap adegan, selalu saja ada yang menangis. Begitu juga dengan keadaan Selecao saat ini.
Saat mendengarkan lagu kebangsaan, mereka berlinang air mata. Mencetak gol juga mewek. Bahkan, sebelum melakukan adu penalti melawan Cile pada babak perdelapan final, mereka berbagi tangis. Untungnya mereka menang lewat adu penalti. Kalau saja yang terjadi sebaliknya, tak hanya pemain yang menangis. Seluruh penduduk Brasil juga akan berlinang air mata.
Baca juga:
Menjelang dinihari nanti, Brasil akan melakoni laga melawan Kolombia. Iseng-iseng saya menggoda orang di sini. Apakah mereka lagi-lagi akan menangis? Jawabannya ternyata tak terduga. "Mereka bukannya cengeng, Amigo…. Tapi mereka terharu karena bisa memakai seragam Selecao. Mereka bangga membela Brasil," katanya.
Ternyata alasan itu tidak keliru. Saya bertemu dengan Jair Marinho, seorang pemain Brasil yang pernah membela Brasil dalam Piala Dunia 1962 di Cile. Dengan berapi-api, dia menceritakan kebanggaannya bisa memakai seragam Selecao dan ikut mengangkat piala yang berhasil mereka dapatkan untuk kedua kalinya itu.
"Rasanya tak ada yang bisa mengalahkan kebanggaan itu," katanya. "Saya bersyukur termasuk satu dari sedikit orang yang bisa mengangkat piala tersebut." Padahal sebenarnya, selama turnamen itu, Pak Jair tidak pernah turun bermain.
Nyatanya, timnas Brasil kali ini, menurut media lokal, merupakan yang paling sering menangis. Namun, menurut psikolog di sini, tangis tim asuhan Felipao ini merupakan pelampiasan atas ketegangan yang mereka alami dalam setiap pertandingan.
Jairzinho, bintang Brasil dalam Piala Dunia 1970, yang menjadikan Brasil sebagai pemilik tetap Piala Jules Rimet, menilai bahwa gampangnya mereka menangis menunjukkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.
"Kalau sesekali menangis, sih, tidak apa-apa. Kalau terus-terusan menangis, sepertinya ada masalah. Mereka yang kini tampil dalam Piala Dunia yang ternyata tak sepenuhnya bermain bagus seperti dalam Piala Konfederasi," katanya.
Rupanya pendapat yang keluar berbeda-beda. Semuanya masuk akal. Jairzinho tidak keliru, tapi Jair dan penduduk Brasil lainnya juga tidak salah. Wujud kebanggaan bisa jadi memang begitu. Sebab, tekanan yang mengimpit juga bisa jadi benar.
Sayangnya, kita di Indonesia belum pernah punya pengalaman seperti orang Brasil yang memiliki tim yang mampu berlaga dalam Piala Dunia. Tapi barangkali saya bisa merasakan kebanggaan seperti itu ketika Susi Susanti meraih medali emas di Barcelona 1992. Air mata yang berlinang saat Indonesia Raya dinyanyikan sampai sekarang masih terasa menggetarkan.
Mungkin itu yang dirasakan para pemain Brasil saat ini.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)