TEMPO.CO - Saya tidak suka pada kawan sekaligus tetangga yang satu ini. Bukan karena gaya berpakaian atau caranya menyisir rambut yang begitu "jadul" dan teramat konsisten pada potongan tahun 1960-an yang "purba" itu, melainkan pada kelakuannya yang senantiasa "offside" alias di luar mainstream.
Pada malam-malam panjang siaran langsung Piala Dunia ini, ia memilih duduk di sebuah pojok dan tampak asyik dengan pikirannya sendiri, ketimbang ikut berteriak, mengumpat, bahkan sesekali memaki adegan di layar kaca dengan yang lain.
Suatu kali seorang kawannya yang diam-diam mengamati tingkah lakunya selama beberapa hari kala nonton bareng, mendapati: matanya sembap menahan tangis. Kepada sang "pemerhati," ia tidak menyembunyikan perasaannya: betapa ia benar-benar hanyut ketika kamera tiba-tiba meninggalkan para pemain yang tengah merayakan gol kemenangan, seraya menyoroti wajah-wajah masam pemain yang gagal menyarangkan bola ke gawang lawan.
Karena itu, ia tidak ikut berjingkrak ketika menyaksikan gol indah gelandang Kolombia, James Rodriguez, menjebol gawang Uruguay. Ia lebih suka menyaksikan reaksi para algojo tendangan penalti yang tidak berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. Di dalam duel satu lawan satu yang dramatis di lapangan hijau itu, perasaannya menyatu dengan para pecundang: diawali dengan para eksekutor itu mengambil ancang-ancang, seraya menahan napas sejenak, menggerakkan badannya sedikit ke arah yang salah untuk mengecoh penjaga gawang, diakhiri dengan tendangan yang ternyata mandul itu. Antiklimaks yang menyakitkan!
Di mata kawan yang ganjil ini, sepak bola memang lebih dari sekadar dua puluh dua laki-laki yang bercelana pendek dan berseragam kaus oblong yang berebut sebuah bola di hadapan jutaan pasang mata penonton yang terpesona pada yang berlangsung di lapangan rumput itu-ya, sepak bola adalah kegilaan yang mengalami globalisasi paling dini.
Sepak bola adalah cerminan hidup modern yang sangat terobsesi dengan aplikasi doktrin survival to the fittest-nya Charles Darwin: penghargaan setinggi langit ditujukan kepada tim yang menang, dan cemooh berat kepada kesebelasan yang menjadi pecundang. Tak ada tempat bagi para pemain yang kalah-terutama kalah dalam pertandingan-pertandingan di putaran awal. Tersisih dalam kompetisi yang berat ini berarti punah-sebagaimana punahnya dinosaurus yang tak sanggup beradaptasi.
Tak seperti kawan-kawan lain yang senantiasa riuh rendah ketika menyaksikan pertandingan, sohib yang satu ini memandang sepak bola lebih dari sekadar pertandingan atau permainan pelipur lara. Ia sangat serius. Sepak bola adalah hidup, dan hidup itu sendiri adalah permainan yang sangat ideologis, dan tanpa keraguan ia telah menunjukkan keberpihakannya kepada para korban kehidupan yang kompetitif ini, ketimbang ikut mengelu-elukan para pemenang atau orang-orang yang sukses.
Entah bagaimana, belakangan ini saya seperti terinfeksi virus aneh sang kawan. Doktrin survival to the fittest tampaknya memang tak pantas diberlakukan di antara sesama manusia, dan keberpihakan terhadap orang-orang yang tersisih, terbuang, dan terasingkan dari perikehidupan modern ini tak cukup disimpan di dalam hati.
Sekarang, menyaksikan riuh rendahnya klaim lembaga penelitian tentang unggulnya elektabilitas seorang calon presiden di atas yang lain membuat saya teringat pada kawan yang aneh lagi jadul itu. Kemenangan menjadi tujuan satu-satunya, sedangkan simpati terhadap orang-orang yang kemudian tersisih, tersingkirkan, jelas tak masuk dalam hitungan.
Padahal, sejarah kontemporer di negeri ini juga menyimpan perbendaharaan kasus di mana simpati terhadap korban pada akhirnya menentukan kemenangan seorang calon. Kemenangan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan pertama pada era Reformasi sangat ditentukan oleh tumpahnya simpati masyarakat pemilih kepada sosok korban Orde Baru itu. Bukan tak mungkin korban kampanye hitam dan korban fitnah akan bangkit mendulang simpati dari para pemilih.
Sepertinya saya mulai menyukai teman yang menonton Piala Dunia yang aneh itu.
IDRUS F. SHAHAB l Wartawan Tempo