TEMPO.CO - Agaknya Alejandro Sabella memainkan sebuah tango yang lain. Sebuah tango yang jauh dari keriangan. Sebuah tango yang mengedepankan pertahanan dan penuh teka-teki. Adakah ini sebuah taktik yang bakal terus berubah atau memang karakter baru sebuah tim? Kita tak tahu.
Keberhasilan menekuk Belgia 1-0 kita saksikan masih diperoleh Argentina dengan siasat semi-defensive. Perjalanan Argentina ke semifinal dilalui dengan kemenangan-kemenangan tipis dan masih sedikit berbau keberuntungan. Dimulai dari mengalahkan Bosnia 2-1 sampai Swiss 1-0. Argentina belum menampilkan permainan menyerang terbuka, melainkan bertahan dari gempuran sembari melakukan serangan balik.
Banyak fan menginginkan Argentina memainkan suatu tango yang passionate. Kemenangan Argentina adalah hasil permainan yang giras, penuh power. Ibarat penari tango, mereka menyajikan dansa yang panas, hot, dan agresif. Tapi pelatih Alejandro Sabella, yang di lapangan selalu berjas bak manajer Wall Street, menampilkan timnya jauh dari bayangan penari tango yang bergairah. Ia menjadikan kesebelasannya kelewat hati-hati. Ia tampak bagai seorang peragu, yang tak begitu yakin akan kekuatan pasukannya sendiri.
Ia dikecam saat memainkan formasi 5-3-2 di babak pertama kala melawan Bosnia. Itu menjadikan psikologis pemain Argentina mirip sebuah tim yang introvert. Sebuah kesebelasan kemarin sore yang takut-takut bergerak. Barulah kemudian, ketika formasi berubah 4-3-3 sebagaimana biasa, permainan mereka berkembang. Formasi 4-3-3 dilanjutkan tatkala melawan Iran, walau kita melihat "nada dasar"-nya masih disiplin menutup ruang, dibanding sebuah hasrat untuk melakukan serangan maut yang bertubi-tubi.
Tapi ingat, tidak semua tango memang harus memainkan watak yang penuh gelora dan trengginas. Di Argentina, ada seorang komponis tango bernama Astor Piazzolla. Pada 1950-an, ia dicemooh para tetua tango tradisional karena memainkan bandaneon (semacam akordeon) dengan nada-nada yang cenderung muram.
Piazzola besar di Greenwich Village, New York, suatu daerah komunitas seniman dan berandal. Saat balik ke Argentina, ia kelak mengembangkan apa yang disebutnya Nuevo Tango. Suatu tango yang juga mengkombinasikan dengan jazz atau klasik. Pengamat melihat tango Piazzola bukanlah tango yang riang, melainkan tango yang sedih. Tango-nya menyuarakan sesuatu yang kelam, ngelangut. Mendengarkannya adalah mendengar sisi Argentina yang lain. Sisi yang pedih. Namun, ia kemudian diakui sebagai penyelamat tango.
Tentu Sabella tidak bisa disamakan dengan Aztor Piazzolla. Para fan berharap ia memberi ruang yang luas bagi Lionel Messi. Mereka berharap Argentina tampil dengan permainan ofensif yang mengandalkan Messi dan para striker lainnya. Di Argentina, ada pepatah: Francis Pope, Messi King, Maradonna God. Meski sudah mencetak empat gol, Messi belum "menggigit" benar. Tapi kita melihat Sabella lebih menginginkan suatu kerja tim. Ia tak ingin menggantungkan seluruh tim pada Messi.
Sepak bola menyerang kini menjadi ukuran bagi sepak bola modern. Sebuah kejuaraan dunia akan hambar rasanya tanpanya. Sepak bola menyerang adalah unsur spectacle dari sebuah festival. Di situ terletak dramaturgi pertunjukan. Kemampuan berorganisasi sebuah tim, kemampuan mengatur ritme yang dinamik, kepiawaian melakukan tusukan-tusukan, kecerdasan komunikasi antarpemain. Pada titik tertentu, sepak bola menyerang adalah cermin dari "tingkat intelektualitas" sebuah bangsa.
Kesebelasan yang sengaja menolak sepak bola menyerang bisa disebut sebagai "pengkhianat". Yunani, misalnya. Fernando Santos, sang pelatih, membawa Yunani ke Brasil dengan formasi 4-3-3 atau 4-5-1. Hasilnya, Yunani terjungkal dan pulang dengan sebutan Karagiozis.
Karagiozis adalah wayang Yunani yang sosoknya mirip Gareng. Matanya seperti bengkak timbilan. Hidungnya bulat besar. Tangannya panjang sebelah. Punggungnya bongkok. Novelis tenar Yunani, Nikos Kazantzakis, pernah menyebutkan asal-usul Karagiozis dari Turki--sementara Turki mengambil dari Nusantara. Entah kenapa Karagiozis menjadi kosakota di Yunani bagi seorang pemain sepak bola yang gagal alias pecundang.
Tentu tidak patut mengatakan Sabella mengembangkan sepak bola negatif. Ia seorang yang realis. Kita tunggu apakah tango yang sedih itu adalah takdir atau taktik. Kita tunggu apakah Argentina terus melaju. Atau dari lapangan saat melawan Belanda nanti di semifinal, kita akan sayup-sayup mendengar jeritan Evieta Peron dalam opera populer Broadway: Dont Cry for Me, Argentina.
SENO JOKO SUYONO (Wartawan Tempo)